Sabtu, 23 Oktober 2010

PENGARUH BUDAYA DALAM PENANGGULANGAN TERORISME

Determinasi kebudayaan ditentukan oleh faktor-faktor geografis, demo-grafis, sosial ekonomi, ideologi politik, sosial budaya, dan kondisi keamanan. Kondisi determinasi kebudayaan Indonesia saat ini memperilihatkan hal - hal sebagai berikut :

Pertama, kondisi geografis Indonesia yang sangat luas yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, terdiri dari berbagai pulau yang dikelilingi lautan, memiliki dataran rendah dan tinggi yang cukup luas, udara tropis yang diametral antar musim hujan dan musim kemarau telah membentuk karakter-karakter manusia Indonesia yang beragam yang tersebar di seluruh wilayah. Namun kondisi geografis yang sangat luas ini yang berbatasan dengan beberapa negara belum seluruhnya terjaga dan terpelihara sebagai satu kesatuan Negara Republik Indonesia. Masih terdapat pulau - pulau yang tidak bernama dan terpencil dengan batas - batas dengan Negara lain yang tidak jelas.

Kedua, penduduk Indonesia yang besar dan plural dimana memiliki berbagai macam suku bangsa, agama, ras, dan antar golongan (SARA) memiliki sub - sub kebudayaan yang sangat besar dan potensial bagi upaya membangun kebudayaan nasional. Namun kondisi saat ini (10 tahun terakhir) menunjukan timbulnya gejala konflik yang bernuansa SARA pada masyarakat Indonesia, yang ditenggarai disebabkan karena prasangka-prasangka budaya yang bertali - temali dengan munculnya deprivasi pada masyarakat, serta belum selesainya pembangunan karakter bangsa (national character building).

Ketiga, kondisi sosial ekonomi sejak terjadinya krisis multidimensional masih belum sepenuhnya bangkit, masih menyisakan banyak penduduk yang kehidupannya di bawah garis kemiskinan, dan banyaknya pengangguran. Sementara kesenjangan ekonomi masih terlalu besar di kalangan masyarakat Indonesia. Kondisi ini telah menciptakan deprivasi pada masyarakat baik deprivasi absolut maupun deprivasi relatif, yang banyak menumbuhkan konflik - konflik sosial psikologi di dalam kehidupan masyarakat, dan telah menumbuhkan sikap dan perilaku kekerasan.

Keempat, Kondisi ideologi bangsa Indonesia saat ini, sekalipun secara resmi dinyatakan ideologi Pancasila, namun sebenarnya telah mengalami polarisasi. Masih terdapat sebagian masyarakat yang menginginkan bukan Pancasila sebagai dasar ideologi negara, melainkan ideologi lain, baik secara resmi dicantumkan pada partai - partai politik, maupun melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan, dan pergerakan-pergerakan yang tidak berbentuk (organisasi tanpa bentuk). Kondisi ini telah memunculkan dinamika pada upaya mewujudkan ideologi tersebut. Sementara itu dinamika Politik Indonesia sejak munculnya gerakan reformasi mengarah pada terciptanya demokratisasi dalam kehidupanbermasyarakat,berbangsa dan bernegara, serta desentralisasi dalam pengelolaan negara. Namun demikian pada masa transisi dimana masyarakat belum memahami benar makna demokrasi, kondisi ekonomi yang masih terpuruk yang berakibat pada timbulnya deprivasi pada masyarakat, rendahnya kondisi sosial (pendidikan dan kesehatan) sebagaimana tercermin pada wilayah - wilayah penelitian (Propinsi Lampung, Banten, DKI Jaya, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan) telah menimbulkan deviasi dan berbagai ekses pada pelaksanaan demokrasi, yang berdampak pada munculnya perilaku antara lain: pengutamaan kepentingan individu dan kelompok, muncul konflik-konflik dan kekerasan pada masyarakat.

Kelima, kondisi sosial masyarakat Indonesia sebagaimana tercermin pada ke 6 Propinsi wilayah penelitian, sejak terjadinya krisis multidimensional telah mengalami penurunan, baik pada pendidikan (banyaknya anak yang putus sekolah), kesehatan (gizi buruk, flu burung, dan lain-lain) sehingga kualitas hidup masyarakat Indonesia semakin rendah. Pada saat ini sekalipun secara perlahan menunjukan kenaikan, namun belum sepenuhnya meningkat, masih relatif banyak masyarakat yang buta huruf, dan kualitas kesehatan yang buruk.

Beberapa faktor yang dikemukakan responden yang diyakini sebagai faktor- faktor yang mendorong terjadinya terorisme di Indonesia

Keenam, sementara itu nilai-nilai budaya yang terdapat pada berbagai macam suku bangsa, agama, ras, dan golongan yang ada di Indonesia pada dasarnya masih memiliki budaya adiluhung sebagai sumber nilai sosial budaya nasional Indonesia sebagaimana tercermin pada 6 wilayah penelitian, seperti budaya gotong royong, budaya cinta kasih, budaya kebersamaan, budaya persatuan, Namun beberapa nilai budaya, telah banyak dilupakan, tidak dikenali masyarakat pendu-kungnya, bahkan telah mengalami pendangkalan (degradasi} makna, yang disebabkan adanya penetrasi budaya lain yang secara perlahan namun sistematis telah mengubah perilaku (budaya) masyarakat Indonesia kearah yang berlainan dengan budaya asli yang adiluhung, seperti individualisme, ekslusifisme, fanatisme, kekerasan.

Ketujuh, kondisi keamanan pasca keruntuhan Orde Baru yang ditandai dengan terjadinya krisis multidimensional mengalami titik nadir; berbagai kerusuhan hampir terjadi diseluruh belahan nusantara, serta pada beberapa daerah timbul separatisme yang menuntut kemerdekaan dan otonomi daerah. Sementara gerakan reformasi yang mengusung pembaharuan telah menyebabkan berbagai perubahan yang memerlukan penyesuaian dan berakibat timbulnya anomali pada masyarakat dan beberapa kelem - bagaan kenegaraan termasuk aparat keamanan. Kondisi ini telah mengakibatkan munculnya berbagai permasalahan sosial, serta tindak kejahatan baik yang bersifat konvensional, maupun transnasional.

Kedelapan, selain faktor - faktor determinasi kebudayaan Indonesia yang mulai mengalami perubahan atau yang sering pula disebut sebagai faktor perubahan lingkungan strategis nasional, terdapat pula beberapa faktor Internasional (lingkungan strategis global), yang memiliki pengaruh yang cukup besar bagi perubahan peta budaya yang menimbulkan munculnya persaingan peradaban pasca selesainya perang dingin, dimana Negara - negara Barat khususnya Amerika Serikat dianggap sebagai agen tunggal penyebar peradaban internasional, khususnya budaya kapitalis liberal.

Dari hasil penelitian Ditjianbang Sespim Polri, menun¬jukan kondisi factor - faktor deter-miasi budaya tersebut telah membentuk sub - sub budaya baik yang mendorong terhadap tindak kekerasan sebagai ciri dan karak-teristik terorisme maupun nilai - nilai budaya yang dapat digunakan sebagai konduktor dinamik dalam mencegah timbulnya terorisme.

Kondisi faktor - faktor determinasi budaya yang mulai menurun telah dimanfaatkan oleh kelompok terorisme guna mewujudkan kepentingannya, dengan melakukan interaksi budaya baik secara sendiri-sendiri pada faktor determinasi tersebut maupun secara akumulasi yang dapat dijadikan alasan tindakan - tindakan tero¬risme, ataupun dalam upaya membangun kekuatan agarpaham-paham yang tebarkan terorisme diterima bangsa Indonesia. Hal ini dapat tercermin dari hasil penelitian terdapat beberapa faktor yang diyakini responden sebagai faktor-faktor yang menyebabkan terjadiya terorisme di Indonesia, dan sub - sub kebudayaan dianggap sebagai area kondisioning yang dijadikan sarana untuk memudahkan penebaran paham dan pergerakan terorisme di Indonesia.

Beberapa faktor yang dikemukakan responden yang diyakini sebagai factor - faktor yang mendo¬rong terjadinya terorisme di Indonesia, yakni :

Pertama, disebabkan karena adanya kepentingan individu dan kelompok para pelaku (Rata-rata = 3,0467, Std Dev = 0,90726). Responden meyakini bahwa para teroris memiliki kepentingan individu maupun kelompok, alas an - alasan ketidakadilan, penindasan sebagai alasan solidaritas terhadap sesama kaum hanyalah alasan untuk mengalihkan perhatian dari kepen¬tingan yang sesungguhnya seperti kepentingan politik (63%).

Kedua, berkaitan dengan upaya untuk memperjuangkan kesejahte-raan oleh suatu kelompok tertentu. Hal ini disampaikan oleh sebagian responden, namun sebagian besar lainnya menyatakan sebaliknya dan menjadi bahan pertentangan sebagaimana diperlihatkan oleh nilai Standar Deviasi yang sangat tinggi (Rata-rata = 2,5703, nilai Std. Deviasi = 1, 36764).

Ketiga, adanya fanatisme sekelompok orang terhadap aliran agama tertentu atau kepercayaan yang mereka anut. (Rata-rata = 2,9180 Std. Deviasi = 0,94690). Hasil penelitian menunjukan bahwa fanatisme kelompok telah menye¬babkan terjadinya perbedaan penafsiran terhadap ajaran - ajaran agama. Penafsiran terhadap ajaran agama yang keliru sering menimbulkan kesesatan yang berdampak pada munculnya perilaku - perilaku yang menyimpang dari pandangan masyarakat pada umumnya.

Keempat, teror yang terjadi di Indonesia disebabkan sebagai protes atas ketidakadilan (kesemena-menaan) pihak - pihak lain di luar Pemerintah RI (Rata-rata = 3,0926 Std. Deviasi = 1,37675). Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya sering dijadikan alasan melakukan teror di wilayah - wilayah yang dianggap memiliki hubungan dengan Amerika dan Sekutunya, serta terdapatnya beberapa kepen¬tingan Amerika dan Sekutunya di wilayah tersebut.

Kelima, disebabkan karena adanya kekhawatiran atas perubahan budaya yang cenderung menuju kepada terciptanya budaya kapitalis liberal (Rata-rata = 3,0899. Std. Deviasi = 0,95297). Perlawanan atas kekhawatiran terhadap peru bahan budaya ke arah budaya kapitalis liberal dilakukan kelompok teroris melalui metode teror.

Keenam, sikap dan perilaku masyarakat yang cenderung mela¬kukan tindakan kekerasan dapat memudahkan penyebaran paham terorisme di kalangan masyarakat (Rata rata = 2,9793. Std. Dev = 0,93745).

Keenam faktor pendorong tersebut satu sama lain saling mempengaruhi. Oleh karena itu faktor-faktor yang menj adi penyebab munculnya terorisme di Indonesia tidak bersifat tunggal, melainkan akumulasi dari berbagai faktor tersebut, yang secara bersama - sama mendorong munculnya terorisme di Indonesia.

Selain factor - faktor yang dapat mendorong munculnya perilaku teroris dalam masyarakat Indonesia, terdapat pula factor - faktor budaya yang terdapat dalam masyarakat Indonesia diyakini responden memudahkan munculnya terorisme di Indonesia, yakni :

Pertama, tindakan terorisme yang dilakukan para teroris menurut sebagian responden disebabkan ada¬nya budaya kekerasan dalam masyarakat (Rata-rata = 2,8746. Std. Dev = 0,94145). Kekerasan yang muncul di masyarakat, memberikan spirit pada munculnya tindakan terorisme. Kekerasan yang muncul bukan karena faktor nilai budayanya melainkan pemaknaan terhadap nilai - nilai budaya dan agama yang keliru. Penyimpangan terhadap nilai budaya disebabkan karena pemahaman yang belum sempurna sebagai akibat proses pembelajaran tidak tuntas. Hal ini menunjukan dalam hal seseorang memutuskan untuk mengikuti paham teror atau bertindak melakukan teror, tidak seluruhnya didorong oleh faktor-faktor budaya, bahkan yang terbesar adalah pengaruh dari lingkungan sekitar budaya tersebut. Ini yang menunjukan adanya disparitas dalam penerimaan paham-paham.

Kedua, sikap dan perilaku masyarakat yang bersifat indivi-dualistis menyebabkan para teroris dengan mudah bersembunyi, dan melakukan pergerakan (Rata-rata = 3,2365. Std. Dev = 0,92256). Hasil penelitian menunjukan bahwa kelompok teroris banyak melakukan pergerakan/aksinya dan persembunyiannya pada daerah-daerah/wilayah yang sebagian besar masyarakatnya memiliki sikap dan perilaku individual.

Ketiga masyarakat yang bersifat tertutup (eksklusif) dapat memudahkan kelompok paham terorisme yang menggunakan tindak kekerasan berkembang di masyarakat (Rata-rata = 3,3267 . Std. Dev = 0,91531). Hasil penelitian menunjukan bahwa paham-paham terorisme banyak ber¬kembang pada masyarakat yang bersifat tertutup (ekslusif), serta masyarakat yang memilki kelompok - kelompok yang bersifat tertutup.

Keempat, proses pembelajaran yang sama dan intens dapat melahirkan kesadaran yang sama tentang sesuatu yang diyakini dan dipahami, sehingga mudah dibe-lokkan untuk kepentingan tindakan terorisme (Rata-rata = 3,1814 . Std. Dev = 0,94594). Hasil penelitian menunjukkan kelompok terorisme terbentuk bukan hanya dalam hitungan jam atau hari, melainkan terbentuk melalui proses pembe¬lajaran, dan melalui beberapa tahap metode pembelajaran.

Kelima, sistern kekerabatan di kalangan masyarakat menurut sebagian besar responden sering dimanfaatkan untuk mempermudah proses rekruitmen bagi anggota suatu jaringan teroris, akan tetapi hal ini menjadi sesuatu yang dipertentangkan oleh para responden sebagaimana diperlihatkan oleh nilai Standar Deviasi yang sangat tinggi (Rata-rata = 3,0203 . Std. Dev = 1,35101).

Keenam, kondisi lingkungan serta latar belakang ideologi yang sama menurut sebagian responden dapat membentuk kelompok kelompok eksklusif (tertutup) yang berkembang menjadi kelompok teroris (Rata- rata = 2,9940 . Std. Dev = 0,93998). Responden meyakni bahwa teroris berkembang di Indonesia pada kelompok-kelompok yang memiliki latar bekang ideologi yang sama. Ideologi adalah sesuatu pandangan yang diyakini oleh kelompoknya sesuatu yang benar, oleh karena itu harus diperjuangkan. Pandangan tersebut menyangkut : prinsip - prinsip hidup yang fundamental; prinsip-prinsip kehidupan sosial ekonomi, politik, budaya, dan hukum, seperti sistem ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum; prinsip - prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti sistem pemerintahan; strategi dan metode untuk mencapai tujuan.

Di Indonesia, terdapat kemiripan ideologi yang dianut kelompok terorisme dengan kelompok yang akan mendirikan Negara Islam Indonesia (Nil). Oleh karena itu banyak anggota Nil yang terlibat teror.

Ikatan darah (genealogist sering dipergunakan untuk membentuk kelompok guna kepentingan para teroris. (Rata-rata = 2,8509. Std. Dev = 0,93753). Hasil penelitian menunjukan banyak warga negara Indonesia yang terlibat kelompok teroris memiliki ikatan darah satu sama lain baik melalui perkawinan atau langsung.

Ikatan emosional yang menggunakan kedok agama menurut para responden sangat mudah dijadikan sarana untuk mengembangkan paham dan aksi teror di dalam masyarakat (Rata-rata = 3,0424 . Std.Dev = 0,93044). Hasil penelitian menunjukan faktor solidaritas keagamaan merupakan faktor yang sangat kuat digunakan kelompok teroris yang ada di Indonesia untuk mengembangkan penyebaran paham -pahamnya. Hal ini mengingat agama merupakan keyakinan yang bersifat dogmatis, sehingga sensitivitas agama sangat kuat bagi para pemeluknya.

Situasi dan kondisi yang sama (dalam kemiskinan, kesedihan, kekalutan, tekanan, kekurangan, kesusahan, kekecewaan, dan lain-lain) memudahkan menjadi pemersatu/perekat guna menerima paham teror dan mengikuti kemauan kelompok teroris (Rata- rata = 3,2541. Std. Dev = 0.92632). Hasil penelitian menunjukan bahwa dilihat dari sisi ekonomi, banyak warga negara Indonesia yang terlibat kelompok terorisme merupakan kelompok masyarakat yang terkatagori miskin, dengan memiliki deprivasi (kekecewaan), kesedihan, kesusahan yang sama satu sama lain.

Berbagai faktor yang mendo-rong munculnya terorisme, serta nilia - nilai sosial budaya yang mempermudah sebagaimana diuraikan di atas memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap penanggulangan terorisme. Hasil uji statistik menunjukan factor - faktor tersebut berkorelasi terhadap upaya-upaya penanggulangan tindakan terorisme sebesar72,4%. Hal ini menunjukkan, bahwa efektivitas upaya - upaya penanggulangan terorisme di tanah air akan sangat ditentukan oleh seberapa efektif factor - faktor yang menjadi prediktor bagi munculnya gerakan atau kegiatan terorisme tersebut dilakukan.

Di dalam masyarakat Indonesia yang berbagai macam suku bangsa, agama, ras, dan antar golongan sebagai tercermin dari hasil penelitian pada 6 propinsi, terdapat nilai - nilai budaya yang adiluhung yang dapat dijadikan pedoman untuk menata kembali perilaku, dan diyakini responden dapat digunakan sebagai daya tolak dan daya tangkal masyarakat dalam menghadapi paham terorisme, yakni :

Pertama, budaya persaudaraan dapat dijadikan sarana untuk menanamkan penolakan masyarakat terhadap terorisme (Rata-rata = 3,4890 . Std. Dev = 0,90286). Budaya persaudaraan hampir dimiliki oleh semua suku bangsa di Indonesia, seperti suku bangsa Lampung memiliki prinsip budaya persudaraan yang tersecermin pada prinsip-prinsip Falsafah Piil Pesengiri yang terdiri dari : Piil Pesenggiri (Prinsip kehormatan), Bejuluk Adek (Prinsip Keberhasilan), Nemui Nyimah (Prinsip Penghargaan), Nengah Nyappur (Prinsip Persamaan), Sakai Sambaian (Prinsip Kerjasama). Pada suku Banten yang penduduknya terdiri dari suku sunda (baduy) dan suku Jawa Serang, terdapat prinsip-prinsip "Ngajaga dulur, ngajaga batur", si lib asih dan silih asuh. Pada masyarakat Jawa (Jawa Tengah dan Timur) terdapat prinsip "tuna satak bathi sanak" (rugi uang sedikit tidak apa-apa, tetapi mendapatkan teman). Begitupula pada masyarakat Sulawesi Selatan (Bugis, Makasar, Mandar, dan Toraja), seperti pada prinsip 'yang Siri' ialah orang yang selalu teliti tutur bahasa, dan halus kepada sesamanya.

Kedua, rasa persatuan dan kesatuan yang berkembang dengan baik dapat dijadikan sarana untuk mempererat gerakan dalam menghadang serta mengeliminasi gerakan terorisme (Rata-rata = 3,4672. Std. Dev - 0,88549). Nilai-nilai ini pada masyarakat Lampung sudah tertanam sejak lama sebagaimana tercermin pada prinsip "Khepot Delom Mufakat", begitu pula pada masyarakat Banten terdapat rasa persatuan dan kesatuan pada istilah "sauyunan jeung nu salembur". Sementara pada masyarakat Jawa terlihat pada ungkapan "mangan ora mangan ivaton kumpul". Pada masyarakat Sulsel pada tercermin pada makna Siri' "tu mate-nisantangi" yang berarti Keteguhan diri dan keteguhan bersama. Oleh karena itu perlu terus dipupuk dan direvitalisasi beserta kelembagaannya.

Ketiga, Pemberian pemahaman yang baik terhadap agama akan mampu menangkal/menolak paham terorisme (Rata-rata = 3,7818 . Std. Dev = 0,87340).
Sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa karateristik terorisme yang ada di Indonesia termasuk pada kelompok religius. Oleh karena itu isue agama menjadi sangat kuat, agama sering dijadikan tameng, atau alasan pembenaran melakukan teror.

Keempat, Untuk itu membudayakan memahami agama dengan benar menurut responden merupakan hal yang sangat penting. Dari nilai yang diberikan responden menunjukan bahwa responden hampir dipastikan sangat sepakat bahwa pemahaman masyarakat akan agamanya masih kurang, oleh karena itu peningkatan pemahaman agar dengan baik harus segera diwujudkan dalam upaya menangkal tumbuhnya terorisme di Indonesia. rasa persamaan sebangsa dan setanah air dapat dijadikan sarana untuk menangkal/ menolak terorisme (Rata-rata = 3,8100 . Std. Dev = 0,89009). Pada masyarakat Lampung tercermin pada prinsip "Tetengah Tetanggah". Prinsip ini harus terus dikembangkan dan direvitalisasi, agar dapat dimanfaatkan guna menangkal tumbuhnya paham terorisme di wilayah Lampung, Begitu pula pada prinsip orang Banten "Ngajaga dulur, ngajaga batur, jeung ngajaga lembur". Pada masyarakat Jawa terdapat watak "elingmarangkanca lara lapa" (ingat pada sesama seperjuangan), juga pada pepatah "manjing ajur-ajer". dan prinsip keteguhan hati pada Sir? (Sulsel). Persamaan sebangsa dan setanah air harus terus dipertahankan, terlebih pada kondisi saat ini mulai menguatnya kembali nilai-nilai priomordialisme.

Kelima, rasa kasih sayang sesama manusia dapat dijadikan sebagai sarana penting untuk menangkal/menolak terorisme (Rata-rata = 3,8888 . Std. Dev = 0,87335). Pada masyarakat Lampung terlihat pada kata-kata "Nemui Nyimah dan Bepudak Waya. Nemui Nyimah, Sakai Sambaian dan Khepot Delom Mufakat, Pada masyarakat Banten tercermin pada kata "Silih Asah, Silih Asih dan Silih Asuh" cukup memberikan gambaran masih masih eksis keberadaannya. Begitupula pada masyarakat Jawa istilah "berbudi hawa leksana, ambeg adil paramarta" (berbudi luhur serta mulia dan bersifat adil terhadap siapa saja, atau adil dan penuh kasih sayang). Namun demikian perlu terus dipupuk.

Keenam, peran Para Tokoh Masyarakat dapat dijadikan sebagai sarana guna menggalang pemaham-an dalam upaya penanggulangan terorisme (Rata-rata = 3,7045 . Std. Dev = 0,87470). Indonesia sangat kaya dengan berbagai ragam suku bangsa, dan pada berbagai ragam suku bangsa tersebut terdapat orang-orang yang dianggap sebagai pemimpin atau yang ditokohkan sebagai pemimpin informal, dengan segala kelembagaannya, di samping pemimpin formal pemerintahan mulai dari tingkat desa sampai dengan negara.

Ketujuh, nilai nilai sosial budaya disampaikan oleh para responden di seluruh wilayah penelitian secara umum dapat dijadikan sarana guna menciptakan pemahaman yang sama dalam menanggulangi kegiatan terorisme (Rata-rata = 3,8145 . Std. Dev = 0,88382). Nilai-nilai soial budaya masyarakat Indonesia, pada dasarnya sangat kaya dan plural. Tidak ada satu pun di dunia yang memiliki kekayaan budaya sekomplit Indonesia, mulai didasarkan para keragaman suku bangsa, bahasa, adat istiadat, kepercayaan, agama, dan berbagai golongan penduduk. Potensi sosial budaya ini sangat tinggi bila dimanfaatkan semaksimal mungkin guna menanggulangi terorisme, mengingat nilai-nilai sosial budaya kita, mengandung prinsip-prinsip kedamaian, ramah tamah, sopan santun, dan lain-lain menunjukan kuatnya ikatan sosial budaya Indonesia.

Kedelapan, perilaku gotong ro-yong yang berkembang dengan baik menurut para responden dapat dija¬dikan sarana untuk membangkitkan semangat menjaga keamanan ber-sama dalam kerangka penang¬gulangan terorisme (Rata-rata = 3,8483 . Std. Dev = 0,87064).

Sebagian besar responden mengakui bahwa perilaku gotong royong masih ada dan tumbuh dalam masyarakat Indonesia. Pada beberapa daerah pedesaan di Indonesia perilaku gotong royong ini masih tetap dipelihara. Di Lampung tercermin pada kata Sakai Sambaian/Khepot Delom Mufakat, di Banten tercermin dalam bahasa sunda "Silih asuh" atau "ngajaga batur", di wilayah DKI sekalipun nilai individualistis sudah mulai tinggi namun perilaku gotong royong masih ada dan dipelihara sebagian kelompok masyarakat.

Pada masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur, terutama di wilayah-wilayah pedesaannya masih cukup kuat dan besar perilaku gotong royongnya seperti tercermin dalam pepatah "sepi ing pamrih rame ing gawe", sementara di Sulawesi Selatan pada konsep Siri' juga tercermin nilai gotong royong untuk menegakan harga diri. Oleh karena itu perilaku gotong royong ini harus terus ditingkatkan.

Kesembilan, nilai nilai agama yang dijadikan perilaku dan pedoman oleh masyarakat, menurut sebagian besar responden dapat dijadikan sebagai pedoman dan pendekatan dalam membangun kebersamaan dalam menanggulangi terorisme (Rata-rata = 3,7837. Std. Dev = 0,88053). Hasil penelusuran dari berbagai kitab suci umat beragama dan hasil wawancara pada 60 responden tokoh agama, dapat dikatakan setiap kitab suci baik secara eksplisit maupun implisit memuat nilai-nilai hidup rukun sesama umat beragama, baik antar umat beragama maupun yang satu agama, seperti pada Agama Islam terdapat pada Surat Al Baqarah Ayat 256, Surat Al Kahfi Ay at 29.

Faktor - faktor budaya tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap penanggulangan terorisme di Indonesia. Hasil uji statistik seba-gaimana ditunjukan oleh nilai koefisien determinasi (R Square)nya sebesar 52,4%. Artinya apabila dilakukan upaya-upaya peningkatan terhadap partisipasi masyarakat, pelibatan tokoh masyarakat serta agama dan peningkatan pemahaman masyarakat akan agama yang mereka anut masing-masing, serta mengembangkan dan melembaga-kan nilai-nilai budaya adilihung maka aksi-aksi terorisme diprediksi akan mengalami penurunan sebesar 52,4%.

Namun demikian eksistensi nilai-nilai budaya tersebut pada saat ini tidak terpelihara dengan baik, sehingga keberadaannya tidak dipahami dan diketahui lagi oleh generasi berikutnya, bahkan mengalami pendangkalan makna. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, yakni :

Pertama, dalam berbagai kegiatan baik kemasyarakatan atau-pun kenegaraan nilai-nilai budaya ini jarang disentuh bahkan diabaikan. Begitu pula dalam hal berperilaku politik nilai-nilai ini jarang disentuh.

Kedua, lembaga-lembaga ke¬masyarakatan yang ada masih gamang dalam mengembangkan nilai-nilai budaya tersebut, meng-
ingat besarnya arus masuk kebuda-yaan luar yang lebih banyak meng-usung nilai-nilai individualistis.

Ketiga, belum terbentuknya lembaga-lembaga kebudayaan yang dapat dianggap sebagai garda dan pemelihara nilai-nilai budaya tersebut.


Keempat, miskinnya sosialisasi dan internalisasi pada masyarakat dan generasi berikutnya.

Kelima, masyarakat belum me-miliki lagi patronase tokoh baik pemimpin formal maupun informal yang dalam kehidupan sehari-hari-nya memperlihatkan sikap dan perilaku yang memegang prinsip-prinsip nilai budaya adiluhung tersebut.

Polri dalam kerangka tugasnya sebagai aparat penegak hukum, pemelihara keamanan dan ketertiban, serta pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat dalam upaya mencegah terjadinya terorisme di seluruh wilayah Indonesia, selain harus mampu mengantisipasi pre-diktor penyebab dan faktor yang mempermudah terjadinya terorisme, juga dapat menggunakan nilai-nilai budaya yang adiluhung dalam pe-nanggulangannya. sehingga dapat tercapainya rasa aman dan damai seluruh masyarakat Indonesia, dan masyarakat dunia.

DISKRIMINASI DAN ETNOSENTRISME (TUGAS ISBD)

Masyarakat majemuk yang memiliki latarkebudayaan yang berbeda akan selalu menghadapi masalah etnosentrisme. Perbedaan itu merupakan akibat dari perbedaan folkways yang dimiliki. Keberbedaan ini dapat memicu adanya perpecahan yang mengarah ke disintegrasi antarbudaya. Hal inilah yang kemudian dirasa perlu untuk mempelajari lebih dalam tentang makna-makna yang sama dalam memahami setiap pesan dalam komunikasi antarbudaya.

Konteks Historis

Istilah antarbudaya pertama kali diperkenalkan oleh Edward T.Hall pada tahun 1959 dalam bukunya The Silent Language. Perbedaan antarbudaya dalam berkomunikasi baru dijelaskan oleh David K. Berlo (1960) melalui bukunya The Process of Communication (an introduction to theory and practice). Barlo (1960) menggambarkan proses komunikasi dalam model yang diciptakannya. Menurutnya, komunikasi akan tercapai jika kita memperhatikan faktor-faktor SMCR (Sources, Message, Channel, and Receiver). Antara sources dengan receiver yang diperhatikan adalah kemampuan berkomunikasi, sikap, pengetahuan sistem sosial, dan kebudaayaan. Namun, dalam hal ini, komunikasi antarbudaya yang dijelaskan melalui teori etnosentrisme ini berbasis pada konteks komunikasi kelompok (etnik).

Rumusan objek formal komunikasi antarbudaya baru dipikirkan pada 1970-1980-an. Pada saat yang sama, para ahli ilmu sosial sedang sibuk membahas komunikasi internasional yang disponsori oleh Speech Communication Associaton, sebuah komisi yang merupakan bagian Asosiasi Komunikasi Internasional dan Antarbudaya yang berpusat di Amerika Serikat.

“Annual” tentang komunikasi antarbudaya yang disponsori oleh badan itu terbit pertama kali pada 1974 oleh Fred Casmir dalam The International and Intercultural Communication Annual. Kemudian Dan Landis menguatkan konsep komunikasi antarbudaya dalam Internaional Journal of Intercultural Relations pada 1977. Pada tahun 1979 Molefi Asante, Cecil Blake dan Eileen Newmark menerbitkan sebuah buku yang membicarakan komunikasi antarbudaya, yakni The Handbook of Intercultural Communication. Sejak itu banyak ahli mulai melakukan studi tentang komunikasi antarbudaya, misalnya penelitian Asante dan kawan-kawan pada 1980-an.

Akhir tahun 1983, terbitlah International dan Intercultural Communication Annual yang dalam setiap volumenya mulai menempatkan rubrik khusus untuk menampung tulisan tentang komunikasi antarbudaya. Tema pertama tentang “Teori Komunikasi Antarbudaya” diluncurkan tahun 1983 oleh Gundykunst, disusul tahun 1988 oleh Kim dan Gundykunst, sedangkan tema metode penelitian ditulis oleh Gundykunst dan Kim tahun 1984.Edisi lain tentang komunikasi, kebudayaan, proses kerjasama antarbudaya ditulis pula oleh Gundykunst, Stewart, dan Tim Toomey tahun 1985, komunikasi antaretnik oleh Kim tahun 1986, adaptasi lintas budaya oleh Kim dan Gundykust tahun 1988, dan terakhir komunikasi / bahasa dan kebudayaan oleh Ting Toomey dan Korzenny tahun 1988.

Pada tahun 1990-an, studi-studi komunikasi antarbudaya diperluas meliputi pula studi komunikasi antarbangsa, misalnya Penelitian Komunikasi Kemanusiaan, Monograf Komunikasi, Jurnal Komunikasi, Jurnal Komunikasi Internasional dan Relasi Antarbudaya, Jurnal Studi tentang Orang Kulit Hitam, dan Jurnal Bahasa dan Psikologi Sosial.

McLuhan merupakan orang pertama yang memberikan tekanan ulasan pada hubungan komunikasi antarbangsa karena melihat adanya gejala ketergantungan antarbangsa. Dari gagasannya, muncullah konsep “Tatanan Komunikasi dan Informasi Dunia baru” yang mempengaruhi perkembangan sejumlah penelitian tentang perbedaan budaya antaretnik, rasial, dan golongan di semua bangsa. Faktor-faktor tersebut memantik pesatnya perkembangan teori dan penelitian yang berkaitan dengan komunikasi antarbudaya.

Metateori Komunikasi Antarbudaya

Ada banyak cara memetakan suatu kajian komunikasi antarbudaya. Kajian tersebut dijelaskan dalam pelbagai teori yang tidak hanya berasal dari teori yang pernah dikaji sebelumnya, tetapi juga dari disiplin ilmu sosial lainnya. Teori-teori yang dipinjam dari ilmu-ilmu sosial lainya itu tentunya yang mirip dan bisa menjelaskan proses sosial yang dialami manusia.

Tinjauan ini akan dimulaidengan perspektif psikologis dan sosiologi untuk menerangkan masyarakat majemuk. Herbert Spencer dianggap sebgai orang pemula yang memperkenalkan perspektif evolusi dalam menerangkan perkembangan suatu masyarakat.


Konsep Penting dalam Komunikasi Antarbudaya

Kebudayaan

Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan simbol, pemaknaan, dan penggambaran (imej), struktur aturan, kebiasaan, nilai, pemrosesan informasi, dan pengalihan pola-pola konvensi antara para anggota suatu sistem sosial dan kelomppok sosial.

Etnosentrisme

Konsep etnosentrisme seringkali dipakai secara bersama-sama dengan rasisme. Konsep ini mewakili sebuah pengertian bahwa setiap kelompok etnik atau ras mempunyai semangat bahwa kelompoknyalah yang lebih superior dari kelompok lain.

Prasangka

Prasangka adalah sikap antipati yang didasarkan pada kesalahan generalisasi ataua generalisasi yang tidak luwes yang diekspresikan lewat perasaan. Prasangka merupakan sikap negatif atas suatu kelompok tertentu dengan tanpa alasan dan pengetahuan atas seseuatu sebelumnya. Prasangka ini juga terkadang digunakan untk mengevaluasi sesuatu tanpa adanya argument atau informasi yang masuk. Efeknya adalah menjadikan orang lain sebagai sasaran, misalnya mengkambinghitamkan sasaran melalui streotip, diskriminasi, dan penciptaan jarak sosial (Bennet da Janet, 1996).

Streotip

Streotip berasal dari kecenderungan untuk mengorganisasikan sejumlah fenomena yang sama atau sejenis yang dimiliki oleh sekelompok orang ke dalam kategori tertentu yang bermakna. Streotip berkaitan dengan konstruksi imej yang telah ada dan terbentuk secara turn-temurun menurut sugesti. Ia tidak hanya mengacu pada imej negatif tetapi juga positif. Misalnya masyarakat Batak yang memiliki streotip yang kasa da tegas sdangkan masyarakat Jawa dikenal sebgaia masyarakat yang luwes, lemah, dan penurut.


Teori Pendukung


Teori Pertukaran

Teori Pengurangan Tingkat Ketidakpastian

Teori Analisis Kaidah Peran

Teori Analisis Interaksi Antarbudaya

Teori Analisis Kebudayaan Implisit


Teori Etnosentrisme


William Graham Sumner menilai bahwa masyarakat tetap memiliki sifat heterogen ( pengikut aliran evolusi).

Menurut Sumner (1906), manusia pada dasarnya seorang yang individualis yang cenderung mengikuti naluri biologis mementingkan diri sendiri sehingga menghasilkan hubungan di antara manusia yang bersifat antagonistic (pertentangan yang menceraiberaikan). Agar pertentangan dapat dicegah maka perlu adanya folkways yang bersumber pada pola-pola tertentu.

Pola-pola itu merupakan kebiasaan (habits), lama-kelamaan, menjadi adat istiadat (customs), kemudian menjadi norma-norma susila (mores), akhirnya menjadi hukum (laws). Kerjasama antarindividu dalam masyarakat pada umumnya bersifat antagonictic cooperation (kerjasama antarpihak yang berprinsip pertentangan). Akibatnya, manusia mementingkan kelompok dan dirinya atau orang lain. Lahirlah rasa ingroups atau we groups yang berlawanan dengan rasa outgroups atau they groups yang bermuara pada sikap etnosentris.

Sumner dalam Veeger (1990) sendiri yang memberikan istilah etnosentris. Dengan sikap itu, maka setiap kelompok merasa folkwaysnya yang paling unggul dan benar. Seperti yang dikutip oleh LeVine, dkk (1972), teori etnosentrisme Sumner mempunyai tiga segi, yaitu: (1) sejumlah masyarakat memiliki sejumlah ciri kehidupan sosial yang dapat dihipotesiskan sebagai sindrom, (2) sindrom-sindrom etnosentrisme secara fungsional berhubungan dengan susunan dan keberadaan kelompok serta persaingan antarkelompok, dan (3) adanya generalisasi bahwa semua kelompok menunjukkan sindrom tersebut. Ia menyebutkan sindrom itu seperti: kelompok intra yang aman (ingroups) sementara kelompok lain (outgroups) diremehkan atau malah tidak aman.

Zatrow (1989) menyebutkan bahwa setiap kelompok etnik memiliki keterikatan etnik yang tinggi melalui sikap etnosentrisme. Etnosentrisme merupakan suatu kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai dalam kelompok budayanya sebagai yang absolute dan digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan yang lain. Sehingga etnosentrisme memunculkan sikap prasangka dan streotip negatif terhadap etnik atau kelompok lain.

Komunikasi antarbudaya dapat dijelaskan dengan teori etnosentrisme seperti diungkapkan oleh Samovar dan Porter (1976). Katanya, ada banyak variable yang mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbuadaya, salah satunya adalah sikap. Sikap mempengaruhi komunikasi antarbuadaya, misalnya terlihat dalam etnosentrisme , pandangan hidup , nilai-nilai yang absolute, prasangka, dan streotip.


Aplikasi Teori Etnosentrisme pada Fenomena Sosial di Indonesia


Konflik dan Kepentingan Sosial

Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia memiliki potensi untuk terjadinya perpecahan. Hal ini terjadi karena adanya sikap etnosenris dan memandang kelompok lain dengan ukuran yang sama-sekali tidak ada konsesus atasnya. Terdapat lebih dari 200 suku dan 300 bahasa. Sehingga Indonesia adalah negara yang sangat kaya ada-istiadat. Namun, kekayaan itu akan menjadi lumpuh ketika perbedaan di antaranya tidak diperkuat oleh sikap nasionalisme. Hal bisa dilhat dari banyaknya konflik antaretnis di tahun 1990-an. Seperti tragedi Sampit, antar suku Madura dan Dayak. Dimana terdapat kecemburuan ekonomi anatar Madura sebagai pendatang dan Dayak sebagai penduduk asli. Tragedi Pos, Ambon, dan Perang adat di Papua.

Sebagai contoh di Papua. Seperti yang diberitakan Kompas Juli 2002, ada 312 suku yang menghuni Papua. Suku-suku ini merupakan penjabaran dari suku-suku asli yaitu Dani, Mee, Paniai, Amungme, Kamoro, biak, Ansus, Waropen, Bauzi, Asmat, Sentani, Nafri, Meyakh, Amaru, dan Iha. Setiap suku memiliki bahasa daerah (bahasa ibu) yang berbeda. Sehingga saat ini tedapat 312 bahasa di sana.

Tempat-tempat pemukiman suku-suku di Papua terbagi secara tradisional dengan corak kehidupan sosial ekonomi dan budaya sendiri. Suku-suku yang mendiami pantai, gunung, dan hutan memiliki karakteristik kebudayaan dan kebiasaan berbeda.. Hal ini pula berimbas pada nilai, norma, ukuran, agama, dan cara hidup yang beranekaragam pula.

Keanekaragaman ini sering memicu konflik antarsuku. Misalnya yang terjadi pada tahun 2001, dimana terdapat perang adat antara suku Asmat dan Dani. Masing-masing-masing-masing suku merasa sukunyalah yang paling benar dan harus dihormati. Perang adat berlangsung bertahun-tahun. Karena sebelum adanya salah satu pihak yang kalah atau semkain kuat danmelebihi pihak yang lain, maka perang pun tidak akan pernah berakhir.

Fenomena yang sama juga banyak terjadi di kota-kota besar misalnya Yogyakarta. Sebagai kota multiultur, banyak sekali pendatang dari penjuru nusantara dengan latarbelakang kebudayaan yang berbeda Masig-masing-masing membawa kepentingan dan nilai dari daerah masing-masing. Kekhawatiran yang keudan muncul adalah adalnya sentiment primordial dan etnosentris. Misalnya mahasiswayang berasal dari Medan (suku Batak) akan selalu berkras pada pendirian dan sikap yang menyebut dirinya sebagai orang yang tegas, berpendirian, dan kasar (kasar dalam artian tegas). Sedangkan Melayu dikatakan pemalu, relijius, dan merasa lebih bisa diterima di mana pun berada. Sedangkan Jawa, akibat pengaruh orde baru, menganggap dirinya paling maju dari daerah lain. Sehingga ketika berhubungan dengan orang luar Jawa, maka stigma yang terbentuk adalah stigma negatif seperti malas, kasar, dan pemberontak.

Sejarah Nusantara pada era kerajaan Hindu-Buddha

KERAJAAN
1. Kerajaan Kutai di Kalimantan timur tahun 400 M (Kerajaan Hindu) Raja yang pertama : Kudungga Raja yang terkenal : Mulawarman
2. Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat tahun 500 M (Kerajaan Hindu) Raja yang terkenal : Purnawarman
3. Kerajaan Kalingga di Jepara (Jawa Tengah) tahun 640 M (Kerajaan Budha) Raja yang terkenal : Ratu Shima:
4. Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah tahun 732 M (Kerajaan Hindu) Raja yang pertama : Sanjaya Raja yang terkenal : Balitung
5. Kerajaan Sriwijaya di Palembang abad VII (Kerajaan Budha) Raja yang pertama : Sri Jaya Naga Raja yang terkenal : Bala Putra Dewa
6. Kerajaan Medang di Jawa Timur abad IX (Kerajaan Hindu) Raja yang terkenal : Empu Sendok:
7. Kerajaan Kahuripan di Jawa Timur tahun 1073 M (Kerajaan Hindu) Raja yang pertama dan terkenal : Airlangga
8. Kerajaan Kediri di tepi Sungai Berantas Jawa Timur abad XII M (Kerajaan Hindu) Raja yang pertama : Jaya Warsa Raja yang terkenal : Jaya Baya
9. Kerajaan Singasari di Jawa Timur tahun 1222 - 1292 Raja yang pertama : Sri Rajasa (Ken Arok) Raja yang terkenal : Kertanegara (Joko Dolok)
10. Kerajaan Majapahit di Delta Brantas tahun 1293 - 1520 (Kerajaan Hindu) Raja yang pertama : Raden Wijaya Raja yang terkenal : Hayam Wuruk Raja yang terakhir : Brawijaya (Kertabumi) Patih yang terkenal : Gajah Mada
11. Kerajaan Pajajaran di Priangan (Jawa Barat) tahun 1333 (Kerajaan Hindu) Raja yang terkenal : Sri Baduga Maharaja Raja yang terakhir : Prabu Sedah
12. Kerajaan Demak di Jawa Tengah tahun 1513 - 1546 (Kerajaan Islam) Raja yang pertama : Raden Patah (Sultan Bintoro) Raja yang terakhir : Sultan Trenggono
13. Kerajaan Pajang di Surakarta tahun 1568 - 1586 (Kerajaan Islam) Raja yang pertama : Joko Tingkir (Sultan Hadiwijoyo) Raja yang terakhir : Ario Pangiri
14. Kerajaan Mataram Islam di Kota Gede (Yogyakarta) abad XVI Masehi (Kerajaan Islam) Raja yang pertama : Suto Wijoyo (Panemabahan Senopati) Raja yang terkenal : Sultan Agung
15. Kerajaan Banten di Jawa Barat tahun 1556 - 1580 (Kerajaan Islam) Raja yang pertama : Hasanuddin Raja yang terkenal : Sultan Ageng Raja yang terakhir : Panembahan Yusuf







Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Buddha berkat hubungan dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para musafir dari Tiongkok yakni musafir Budha Pahyien.
Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha, yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16.
Pada masa ini pula muncul dua kerajaan besar, yakni Sriwijaya dan Majapahit. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I-Tsing mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Tengah dan Kamboja. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada, berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan pembentukan kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.
Masuknya ajaran Islam pada sekitar abad ke-12, melahirkan kerajaan-kerajaan bercorak Islam yang ekspansionis, seperti Samudera Pasai di Sumatera dan Demak di Jawa. Munculnya kerajaan-kerajaan tersebut, secara perlahan-lahan mengakhiri kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, sekaligus menandai akhir dari era ini.



101 - Penempatan Lembah Bujang yang menggunakan aksara Sanskrit Pallava membuktikan hubungan dengan India di Sungai Batu. [1]
300 - Kerajaan-kerajaan di asia tenggara telah melakukan hubungan dagang dengan India. Hubungan dagang ini mulai intensif pada abad ke-2 M. Memperdagangkan barang-barang dalam pasaran internasional misalnya: logam mulia, perhiasan, kerajinan, wangi-wangian, obat-obatan. Dari sebelah timur Indonesia diperdagangkan kayu cendana, kapur barus, cengkeh. Hubungan dagang ini memberi pengaruh yang besar dalam masyarakat Indonesia, terutama dengan masuknya ajaran Hindu dan Budha, pengaruh lainnya terlihat pada sistem pemerintahan.
300 - Telah dilakukannya hubungan pelayaran niaga yang melintasi Tiongkok. Dibuktikan dengan perjalanan dua pendeta Budha yaitu Fa Shien dan Gunavarman. Hubungan dagang ini telah lazim dilakukan, barang-barang yang diperdagangkan kemenyan, kayu cendana, hasil kerajinan.
400 - Hindu dan Budha telah berkembang di Indonesia dilihat dari sejarah kerajaan-kerajaan dan peninggalan-peninggalan pada masa itu antara lain prasasti, candi, patung dewa, seni ukir, barang-barang logam. Keberadaan kerajaan Tarumanagara diberitakan oleh orang Cina.
603 - Kerajaan Malayu berdiri di hilir Batang Hari. Kerajaan ini merupakan konfederasi dari para pedagang-pedagang yang berasal dari pedalaman Minangkabau. Tahun 683, Malayu runtuh oleh serangan Sriwijaya. {referensi?}
671 - Seorang pendeta Budha dari Tiongkok, bernama I-Tsing berangkat dari Kanton ke India. Ia singgah di Sriwijaya untuk belajar tatabahasa Sansekerta, kemudian ia singgah di Malayu selama dua bulan, dan baru melanjutkan perjalanannya ke India.
685 - I-Tsing kembali ke Sriwijaya, disini ia tinggal selama empat tahun untuk menterjemahkan kitab suci Budha dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tionghoa.
692 - Salah satu kerajaan Budha di Indonesia yaitu Sriwijaya tumbuh dan berkembang menjadi pusat perdagangan yang dikunjungi oleh pedagang Arab, Parsi, dan Tiongkok. Yang diperdagangkan antara lain tekstil, kapur barus, mutiara, rempah-rempah, emas, perak. Wilayah kekuasaannya meliputi Sumatera, Semenanjung Malaya, Kamboja, dan Jawa. Sriwijaya juga menguasai jalur perdagangan Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut China Selatan. Dengan penguasaan ini, Sriwijaya mengontrol lalu lintas perdagangan antara Tiongkok dan India, sekaligus menciptakan kekayaan bagi kerajaan.
922 - Dari sebuah laporan tertulis diketahui seorang musafir Tiongkok telah datang kekerajaan Kahuripan di Jawa Timur dan maharaja Jawa telah menghadiahkan pedang pendek berhulu gading berukur pada kaisar Tiongkok.
932 - Restorasi kekuasaan Kerajaan Sunda. Hal ini muncul melalui Prasasti Kebon Kopi II yang bertanggal 854 Saka atau 932 Masehi. [2]
1292 - Musafir Venesia, Marco Polo singgah di bagian utara Sumatera dalam perjalanan pulangnya dari Tiongkok ke Persia melalui laut. Marco Polo berpendapat bahwa Perlak merupakan sebuah kota Islam.
1292 - Raden Wijaya, atas izin Jayakatwang, membuka hutan tarik menjadi permukiman yang disebut Majapahit. Nama ini berasal dari pohon Maja yang berbuah pahit di tempat ini.[3]
1293 - Raden Wijaya memanfaatkan tentara Mongol untuk menggulingkan Jayakatwang di Kediri. Memukul mundur tentara Mongol, lalu ia naik takhta sebagai raja Majapahit pertama pada 12 November.[3]
1293 - 1478 - Kota Majapahit menjadi pusat kemaharajaan yang pengaruhnya membentang dari Sumatera ke Papua, kecuali Sunda dan Madura. Kawasan urban yang padat dihuni oleh populasi yang kosmopolitan dan menjalankan berbagai macam pekerjaan. Kitab Negarakertagama menggambarkan keluhuran budaya Majapahit dengan cita rasa yang halus dalam seni, sastra, dan ritual keagamaan.[3]
1345-1346 - Musafir Maroko, Ibn Battuta melewati Samudra dalam perjalanannya ke dan dari Tiongkok. Diketahui juga bahwa Samudra merupakan pelabuhan yang sangat penting, tempat kapal-kapal dagang dari India dan Tiongkok. Ibn Battuta mendapati bahwa penguasa Samudra adalah seorang pengikut Mahzab Syafi'i salah satu ajaran dalam Islam.
1350-1389 - Puncak kejayaan Majapahit dibawah pimpinan raja Hayam Wuruk dan patihnya Gajah Mada. Majapahit menguasai seluruh kepulauan di asia tenggara bahkan jazirah Malaya sesuai dengan "Sumpah Palapa" yang menyatakan bahwa Gajah Mada menginginkan Nusantara bersatu.
1478 Majapahit runtuh akibat serangan Demak. Kota ini berangsur-angsur ditinggalkan penduduknya, tertimbun tanah, dan menjadi hutan jati.[3]
1570 - Pajajaran, ibukota Kerajaan Hindu terakhir di pulau Jawa dihancurkan oleh Kesultanan Banten.
Kerajaan Hindu/Buddha
Kerajaan Hindu/Buddha di Kalimantan
Kerajaan Kutai
Kerajaan Hindu/Buddha di Jawa
Kerajaan Salakanagara (150-362)
Kerajaan Tarumanegara (358-669)
Kerajaan Sunda Galuh (669-1482)
Kerajaan Kalingga
Kerajaan Mataram Hindu
Kerajaan Kadiri (1042 - 1222)
Kerajaan Singasari (1222-1292)
Kerajaan Majapahit (1292-1527)
Kerajaan Hindu/Buddha di Sumatra

Kerajaan Malayu Dharmasraya 1183–1347
Kerajaan Sriwijaya 600–1300

bebeRapa kasus streotip,prasangka, diskriminasi dan soLusi nya

Gambaran kasus pertentangan etnik

Kalimantan

Kita akan membicarakan konflik antar etnik yang paling besar yang pernah terjadi di Indonesia, yakni konflik antara etnik Dayak dan etnik Madura di Kalimantan beberapa tahun lalu (tragedi Sambas dan Sampit), dimana ribuan orang terbunuh dan puluhan ribu lainnya harus menjadi pengungsi di negerinya sendiri. Hidayah (2002) menyebutkan bahwa sebenarnya pemantik konflik hanya disebabkan oleh perkelahian antar pemuda etnis dayak dengan etnis madura. Akan tetapi karena dalam perkelahian itu ada yang terbunuh maka muncullah solidaritas dan balas dendam kesukuan karena pada konflik tersebut terjadi pembunuhan, dan kemudian diperkuat pula oleh prinsip-prinsip adat sehingga konflik menjadi berkepanjangan dan membawa korban yang luar biasa besar.

Banyak analisis telah dilakukan untuk mencari tahu akar dari adanya konflik. Selain analisis yang menunjukkan adanya pihak-pihak tertentu yang sengaja mengorganisir terjadinya kekerasan, ada banyak analisis lain yang mendasarkan pada berbagai perspektif. Sebuah analisis menyimpulkan bahwa terjadinya perebutan sumber daya ekonomi yang semakin terbatas yang telah menyebabkan terjadinya konflik. Dulu saat sumber daya ekonomi cukup melimpah dan mudah didapatkan maka konflik terhindarkan. Akan tetapi begitu sumberdaya ekonomi semakin terbatas dan semakin banyak orang memperebutkannya maka terjadilah kompetisi perebutan sumberdaya. Sebagai konsekuensi logis dari adanya kompetisi perebutan sumber daya adalah terciptanya prasangka antar etnik. Dan lalu adanya prasangka terhadap etnik lain menjadi justifikasi kekerasan terhadap etnik tersebut.

Sebagai lanjutan dari analisis diatas, analisis lain menunjukkan bahwa adanya kesenjangan ekonomi antara etnis Dayak dan etnis Madura sebagai penyebab konflik. Kesenjangan ekonomi itu tercipta sebagai konsekuensi dari adanya kompetisi perebutan sumberdaya ekonomi dimana relatif etnis Madura memenangkannya. Namun menurut Purbangkoro (2002) kondisi sosial ekonomi etnik Madura dan etnik lain relatif sama sehingga tak ada alasan yang menyatakan telah terjadi kecemburuan sosial antara etnik Dayak dan etnik Madura di Kalimantan.

Sementara itu Asykien (2001) menunjukkan bahwa konflik antar etnik itu terjadi karena sifat negatif keduanya. Sifat-sifat kurang terpuji etnik Dayak : 1) Fanatis dan mendewakan kesukuan, 2) tidak punya tenggang rasa dan pendengki etnis yang dimusuhi, 3) menggeneralisasikan kesalahan orang-perorang kepada keseluruhan etnis, 4) melestarikan budaya mengayau, 5) suka menyebarluaskan kebencian dan prasangka buruk. Sedangkan sifat-sifat etnik Madura yang menimbulkan dendam etnik lain : 1) mencuri, menjambret, dan menipu, 2) menempati tanah orang lain tanpa izin, 3) membuat kekacauan dalam perjudian, 4) melanggar lalu lintas, 5) merampas milik etnik lain di penambangan emas. Dari sifat-sifat negatif yang diklasifikasikan Asykien diatas menjadi jelas bahwasanya pertentangan antar etnis merupakan kulminasi dari adanya prasangka etnik. Berbagai keburukan anggota etnik lain dicatat, disimpan, dan digunakan sebagai dasar dalam bergaul dengan etnik tersebut, meskipun toh sebetulnya pelakunya hanyalah segelintir orang saja. Rupa-rupanya generalisasi sifat-sifat buruk seseorang menjadi sifat-sifat buruk kelompok yang telah menjadi penyebab berkembangnya prasangka etnik di Kalimantan. Akibatnya kesalahan satu orang atau kelompok kecil orang juga digeneralisasikan ke keseluruhan etnik. Seterusnya konflik antar etnik tinggal menunggu saat yang tepat.

Maluku (Ambon)

Kita akan mencoba melihat kasus Ambon yang juga berskala besar pada tahun-tahun awal reformasi. Pertikaian yang membawa ribuan korban itu bermula dari isu etnis yang kemudian berkembang menjadi isu keagamaan sehingga tidak kunjung selesai hingga hari ini. Sebelum terjadi konflik, praktis kehidupan ekonomi di Ambon dikuasai oleh tiga etnis yaitu Buton, Bugis, dan Makassar, yang notabene merupakan etnis pendatang dari Sulawesi, sementara itu orang Ambon sendiri kurang memiliki peranan dalam bidang ekonomi. Keadaan demikian mudah saja kita mengerti bila menimbulkan konflik antar etnik. Sebab pertama mungkin adalah timbulnya deprivasi orang Ambon dimana mereka merasa kalah di tanah sendiri oleh pendatang. Sebab kedua, munculnya prasangka mayoritas-minoritas. Prasangka muncul karena etnis Buton, Bugis, dan Makassar sebagai minoritas menguasai perekonomian di Ambon.

Penyebab pertentangan etnik

Dari kedua naskah diatas dapat diambil kesimpulan penyebab pertentangan etnik, yaitu:

Etnosentris yang berlebihan

Terjadi perebutan sumber daya alam yang mewujudkan persaingan antar etnis

Kesenjangan ekonomi antara etnis asli dengan etnis pendatang yang menimbulkan kecemburuan sosial. Dalam hal ini tampak bahwa etnis pendatang lebih maju dan mulai membentuk kelompok eksklusif.

Deprivasi etnik asli yang merasa kalah dengan pendatang

Adanya prsangka etnik yang menyebabkan generalisasi yang berlebihan dan salah dan prejudice etnik mayoritas di daerah tertentu dikalahkan oleh etnik minoritas.

Solusi

Meningkatkan kualitas kehidupan kita. Dengan menyadari adanya beragam budaya maka kita bisa lebih humanis.

Diversitas (keberagaman) merupakan suatu hal yang tidak terhindarkan. Keberagaman tersebut menuntut untuk terjalinnya toleransi antar etnis sehingga diskriminasi etnis tidak akan terbentuk

Kehidupan ekonomi semakin mengglobal dan mengharuskan terjalinnya hubungan dengan berbagai orang dengan latar belakang budaya yang berbeda. Mulai menerima untuk bekerjasama dengan etnis lain untuk memajukan perekonomian tanpa adanya diskriminasi etnik.

Menurunkan stereotip dan prasangka. Stereotip dan prasangka merupakan penyebab terjadinya konflik yang pengaruhnya sangat besar karena streotip dan prasangka akan membuat pemahaman yang salah tentang etnis tertentu yang pada akhirnya membentuk generalisasi yang merugikan banyak pihak (semua kelompok etnis) padahal hanya sebagian (sedikit) dari anggota etnik tersebut yang melakukan perilaku yang merugikan..

Meningkatkan hubungan lebih positif antara etnis mayaoritas dan etnis minoritas (etnis asli dan etnis pendatang). Dalam hal ini etnis pendatang mau meneroma etnis pendatang sebagaai bagian dari keluarga besar Indonesia sedangkan etnis pendatang “tau diri” dengan bersikap baik dan menghargai etnis asli dan mengikuti norma-norma yang berlaku dalam budaya yang ada.

Membangun identitas pribadi yang utuh yang mengandung a) Pengakuan tehadap warisan budaya etnik, b) Memandang diri sebagai individu yang menghargai adanya perbedaan nilai-nilai pada setiap orang.Mengerti keadaan kognitif diri sendiri (seperti stereotip dan prasangka) untuk membangun hubungan dengan teman-teman yang berbeda latar belakang budaya.

Membentuk sikap tenggang rasa, saling menghargai dan bersedia membaur antar etnik tanpa membentuk kelompok eksklusif.

Sebab timbulnya prasangka

Prasangka merupakan fenomena yang hanya bisa ditemui dalam kehidupan sosial. Jika seseorang tidak pernah bertemu orang lain seumur hidupnya, mustahil ia memiliki prasangka. Munculnya prasangka merupakan akibat dari adanya kontak-kontak sosial antara berbagai individu di dalam masyarakat. Seseorang tidak mungkin berprasangka bila tidak pernah mengalami kontak sosial dengan individu lain. Pendek kata, anda harus menjadi anggota masyarakat untuk bisa memiliki prasangka. Nah, anda pasti merupakan anggota masyarakat saat ini, jadi sangat mungkin anda memiliki prasangka.

Terdapat 2 faktor, yakni faktor sosial dan faktor individual yang menyebabkan munculnya prasangka. Beberapa situasi sosial yang bisa memunculkan prasangka setidaknya bisa dikategorikan ke dalam enam hal, yakni akibat konflik sosial antar individu dan antar kelompok, akibat perubahan sosial, akibat struktur sosial yang kaku, akibat keadaan sosial yang tidak adil, akibat terbatasnya sumber daya, dan adanya politisasi pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari adanya prasangka.

Selain situasi sosial di atas, ada peranan faktor individual dalam memunculkan prasangka. Beberapa hal pada diri seseorang yang bisa menyebabkan prasangka adalah cara berpikir, kepribadian, pengaruh belajar sosial, dan psikodinamika kepribadian. Masing-masing memberikan sumbangan bagi kemunculan prasangka pada diri seseorang.

Faktor individual penyebab prasangka

Mungkin anda sering menemui orang yang begitu mudah berprasangka. Mungkin anda juga sering menemui orang yang sangat rendah tingkat prasangkanya. Seolah ada kecenderungan individu tertentu lebih berprasangka daripada individu yang lain. Mengapa hal itu terjadi? Di sinilah faktor individual berperan dalam memicu prasangka.

pfyuAda beberapa hal dalam individu yang bisa membuat seorang individu bisa berprasangka yakni adanya proses kognitif tertentu, adanya pengaruh belajar sosial, adanya tipe kepribadian tertentu dan adanya psikodimanika kepribadian. Berikut penjelasannya masing-masing.

1. Faktor kognitif penyebab prasangka

Terdapat 2 cara berpikir mendasar dalam diri manusia yang bisa menyebabkan terjadinya prasangka, yakni kategorisasi dan atribusi. Masing-masing terbukti menjadi landasan bagi terbentuknya prasangka.

Kategorisasi. Pada saat anda bertemu seseorang di dalam sebuah kapal, apa yang anda lakukan pertama kali? Anda melakukan kategorisasi! Mungkin mula-mula anda akan menggolongkannya berdasarkan jenis kelamin. Ia laki-laki atau perempuan. Lalu mengkategorisasikannya berdasar umur, ia tua, setengah tua atau muda. Kemudian berdasarkan penampakan fisik, cantik, kurang cantik atau jelek. Lalu berdasarkan tinggi badan, ia pendek, tinggi atau sedang. Kemudian berdasarkan panjang rambut, berambut panjang, sebahu, atau pendek. Begitu seterusnya.

Anda tahu, dunia sangat kompleks. Hanya dengan kategorisasi kita bisa membuatnya menjadi sederhana dan bisa kita mengerti. Melalui kategorisasi kita membedakan diri kita dengan orang lain, keluarga kita dengan keluarga lain, kelompok kita dengan kelompok lain, etnik kita dengan etnik lain. Stereotip kelompok (ciri yang dianggap ada pada kelompok tertentu) muncul karena adanya proses berpikir kategorisasi. Ketika anda bertemu dengan orang yang berbeda dengan anda, mungkin anda mengkategorisasikannya sebagai orang asing, seram, tidak terlihat baik dan penampilannya tidak biasa. Akibat kategorisasi itu, muncullah prasangka dalam diri anda.

Kategorisasi bisa berdasarkan persamaan atau perbedaan. Misalnya persamaan tempat tinggal, garis keturunan, warna kulit, pekerjaan, kekayaan yang relatif sama dan sebagainya akan dikategorikan dalam kelompok yang sama. Sedangkan perbedaan dalam agama, gaya hidup, usia, jenis kelamin, tempat tinggal, pekerjaan, tingkat pendidikan dan lainnya maka dikategorikan dalam kelompok yang berbeda.

Mereka yang memiliki kesamaan dengan diri kita akan dinilai satu kelompok dengan kita atau ingroup. Sedangkan mereka yang berbeda dengan kita akan dikategorikan sebagai outgroup. Seseorang pada saat yang sama bisa dikategorikan dalam ingroup ataupun outgroup sekaligus. Misalnya Sandi adalah tetangga kita, jadi sama-sama sebagai anggota kelompok pertetanggaan lingkungan RT. Pada saat yang sama ia merupakan lawan kita karena ia bekerja pada perusahaan saingan kita. Jadi, Sandi termasuk satu kelompok dengan kita (ingroup) sekaligus bukan sekelompok dengan kita (outgroup)

Kategorisasi memiliki dua efek mendasar, yakni melebih-lebihkan perbedaan antar kelompok dan meningkatkan kesamaan kelompok sendiri. Perbedaan antar kelompok yang ada cenderung dibesar-besarkan. Perbedaan itupun sering di ungkapkan. Sementara itu, kesamaan yang ada cenderung untuk diabaikan. Misalnya, bukankah anda cenderung menganggap bahwa perbedaan antara 2 pemeluk agama sangatlah besar. Sebaliknya menganggap sesama pemeluk agama sangatlah mirip (padahal setiap agama juga memiliki sekte-sekte yang berbeda satu sama lainnya)

Pada sisi lain, kesamaan yang dimiliki oleh kelompok sendiri cenderung sangat dilebih-lebihkan. Kesamaan itu selalu didengungkan. Sementara itu, perbedaan yang ada cenderung diabaikan. Sebagai contoh perbedaan antara etnik Jawa dan etnik Batak akan cenderung di lebih-lebihkan, misalnya dalam bertutur kata dimana etnis Jawa lembut dan etnis Batak kasar. Lalu, orang-orang se-etnis cenderung untuk merasa sangat identik satu sama lain padahal sebenarnya diantara mereka relatif cukup berbeda. Bukankah antara orang Jawa Banyumasan (ngapak) dengan Surakartan (bukan ngapak), sangat berbeda dalam bahasa dan adat? Tapi toh mereka merasa satu sebagai orang Jawa.

Ukuran kelompok adalah faktor penting dalam menilai apakah diantara anggota-anggotanya relatif sama ataukah plural. Kelompok minoritas menilai dirinya lebih similar dalam kelompok, sementara kelompok mayoritas menilai dirinya kurang similar. Anggota kelompok minoritas juga mengidentifikasikan diri lebih kuat ke dalam kelompok ketimbang anggota kelompok yang lebih besar. Kelompok minoritas menilai dirinya lebih berada dalam ancaman dibanding kelompok yang lebih besar. Keadaan ini menyebabkan kelompok minoritas tidak mudah percaya, sangat berhati-hati dan lebih mudah berprasangka terhadap kelompok mayoritas. Kecemasan berlebih itu tidak kondusif dalam harmonisasi hubungan sosial. Karena hubungan yang cenderung meningkatkan kecemasan akan mengurangi sikap yang baik terhadap kelompok lain, halmana sangat potensial menyebabkan prasangka.

Pengkategorian cenderung mengkontraskan antara dua pihak yang berbeda. Jika yang satu dinilai baik maka kelompok lain cenderung dinilai buruk. Kelompok sendiri biasanya akan dinilai baik, superior, dan layak dibanggakan untuk meningkatkan harga diri. Sementara itu disaat yang sama, kelompok lain cenderung dianggap buruk, dan inferior. Keadaan seperti itu, baik terbuka ataupun tidak, melahirkan prasangka.

Atribusi. Proses kognitif lain yang berperan dalam membentuk prasangka adalah atribusi, yakni upaya menerangkan sebab dari tingkah laku seseorang. Biasanya, pada saat seseorang mengalami kesenangan dan keberhasilan, maka mereka menilai bahwa penyebab utama adalah diri sendiri. Orang lain yang mendukung adalah faktor tambahan belaka. Sebaliknya, pada saat seseorang mengalami situasi yang buruk atau tidak menyenangkan, maka sumber penyebabnya dicari dari pihak lain. Nah, pada situasi yang buruk inilah, seseorang akan berupaya mencari pihak yang bisa disalahkan.

Upaya mencari seseorang untuk disalahkan atas situasi yang buruk membuat seseorang lebih berprasangka pada yang lain. Misalnya para pengungsi yang mengalami situasi pengungsian yang buruk akan lebih berprasangka. Mereka merasa bahwa nasib mereka ditelantarkan oleh pihak-pihak tertentu. Akibatnya pihak-pihak yang dianggap sebagai sumber kesulitan akan diprasangkai.

2. Pengaruh belajar sosial

Prasangka dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui proses sosialisasi. Apabila suatu keluarga memiliki prasangka yang tinggi terhadap kelompok lain, maka itulah yang cenderung ditanamkan pada anak-anak dalam keluarga itu melalui idiom-idiom bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Keadaan ini membuat kecenderungan kuat bahwa orangtua yang berprasangka akan melahirkan anak-anak berprasangka.

Anak-anak belajar melalui identifikasi atau imitasi, atau melalui pembiasaan. Apa yang dilakukan orangtua, anggota keluarga lain dan semua yang dilihat anak-anak akan ditiru. Misalnya bila orang tua sering mengata-ngatai tetangganya yang beretnis Batak dengan kata-kata “dasar Batak”, maka sang anak juga akan meniru dan mengembangkan perasaan tidak suka terhadap etnik Batak secara keseluruhan.

Terdapat bukti bahwa anak pada usia 3 tahun sudah sadar akan kategorisasi sosial utama yakni gender dan etnik. Anak-anak sudah mengenal kategori-kategori dan bersikap serta bertindak berdasarkan kategori-kategori itu. Pengkategorian itu mendasarkan pada berbagai informasi yang telah diterima anak-anak dari keluarganya. Informasi yang penuh dengan stereotip negatif dan berprasangka akan membuat anak-anak bertindak sesuai dengan stereotip dan prasangka yang dimiliki terhadap kelompok lain.

Media massa merupakan salah satu alat dalam belajar sosial yang penting. Banyak pengetahuan mengenai kelompok lain diperoleh melalui berita-berita di media massa. Akibatnya opini yang terbentuk mengenai kelompok lain tergantung pada isi pemberitaan media massa. Misalnya bila kelompok tertentu dalam berita diposisikan sebagai ekstremis, suka kekerasan, dan teroris maka prasangka terhadap kelompok itu di masyarakat akan menguat.

3. Tipe kepribadian

Setidaknya ada 3 tipe kepribadian yang cenderung lebih berprasangka ketimbang yang lain. Pertama, tipe kepribadian otoritarian, yakni pribadi yang sangat menekankan pada kekuasaan otoriter. Kedua, kepribadian dogmatik, yakni pribadi yang sangat kukuh membela suatu keyakinan tertentu. Ketiga, pribadi yang keras hati.

Kepribadian otoritarian. Pada tataran individu, faktor kepribadian otoritarian merupakan faktor pemicu prasangka yang terpenting. Seseorang yang memiliki kepribadian otoritarian dipastikan mudah berprasangka. Adapun ciri-ciri dari kepribadian otoritarian adalah;

1. Mempersepsi dunia secara bipolar, yakni selalu mengkontraskan segala sesuatu dalam dua kutub yang berlawanan; jika tidak hitam pasti putih, jika tidak benar pasti salah, jika tidak baik pasti buruk, jika tidak indah pasti jelek dan semacamnya.
2. Tidak mampu toleran terhadap perbedaan, yakni tidak bisa menerima adanya orang-orang yang berbeda dari dirinya. Perbedaan yang ditemui akan menimbulkan kecemasan. Karenanya orang bertipe ini menuntut kesamaan sebesar-besarnya dari orang lain. Orang dengan ciri ini cenderung untuk selalu bersikap negatif terhadap orang-orang yang berbeda dengan dirinya.
3. Permusuhan berlebihan terhadap seseorang yang belum nyata anggota sebuah kelompok. Seseorang yang memiliki ciri ini memiliki kecurigaan tinggi terhadap orang-orang asing dan orang-orang yang belum jelas dikategorikan masuk kelompok mana.
4. Hormat berlebihan dan memiliki kebutuhan kuat untuk mengidentifikasikan diri pada figur otoritarian. Orang dengan ciri ini akan sangat patuh dan merasa cemas jika pimpinan mengabaikannya. Para penjilat masuk dalam kategori ini. Mereka berupaya agar pimpinan selalu menyadari kehadirannya, dan berharap agar pimpinan lebih memperhatikannya ketimbang kepada orang lain.
5. Tidak dapat mempercayai orang lain. Mereka biasanya menaruh curiga terhadap pihak lain.
6. Mereka merasa lemah yang oleh karenanya mereka sangat yakin bahwa sangat penting bagi mereka memiliki pemimpin yang sangat berkuasa atau menjadi bagian dari kelompok yang berkuasa. Mereka hanya nyaman jika menjadi bagian dari kelompok yang terbaik, misalnya perusahaan terbaik, tim sepakbola terbaik, dan seterusnya.
7. Etnosentrik. Mereka mengira bahwa kelompok mereka sendirilah yang paling baik.

Kepribadian dogmatik. Tipe kepribadian dogmatik juga merupakan salah satu tipe kepribadian yang memiliki kecenderungan kuat untuk berprasangka. Orang-orang dengan kepribadian dogmatik memiliki pola pemikiran yang sempit (closed-mind). Mereka sangat mempercayai sistem yang anti terhadap perubahan informasi dan ditandai penggunaan daya tarik atau kekuatan wewenang untuk menjustifikasi apa yang mereka kira benar. Jadi, jika berkuasa, maka ia akan berusaha dengan seluruh kekuasaannya untuk menolak ide-ide baru.

Dogmatisme memproposisikan bahwa orang yang dogmatik lebih banyak melakukan penolakan terhadap orang lain yang tidak sepaham dengan dirinya daripada ia menolak orang lain karena identitas kelompok (ras, etnik) mereka. Jika seseorang yang membawa ide baru adalah orang berbeda agama dan ideologi, lebih besar peluang ditolak daripada mereka yang berbeda etnik.

Secara umum orang dengan kepribadian dogmatik ini sangat konvensional. Mereka menentang setiap upaya perubahan yang terjadi jika mengakibatkan perubahan mendasar terhadap apa yang telah lama diyakininya. Mereka tidak segan menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk membenarkan apa yang diyakininya. Pada titik ekstrim, orang dengan kepribadian dogmatik ini menganggap hanya yang diyakinilah yang benar.

Pribadi yang keras hati. Jenis kepribadian lain yang mudah menderita prasangka adalah orang yang memiliki kepribadian yang keras hati atau cenderung kaku. Mereka yang keras hati ini lebih mampu memahami adanya ekstremitas, misalnya membenarkan terorisme. Mereka kurang terpengaruh keluarga dan lingkungan sosial dalam menentukan pilihan politik. Karakteristik orang berprasangka secara umum bermental kaku (rigidity), dan memiliki infleksibilitas pikiran.

4. Psikodinamika kepribadian

Menurut teori psikodinamika dalam ilmu psikologi, prasangka dianggap sebagai hasil perkembangan dari ketegangan motivasional dari dalam diri individu. Prasangka muncul karena menguntungkan secara psikologis, yakni meningkatkan perasaan superioritas. Anda mungkin pernah merasakan kepuasan bila mengetahui ada orang lain mengalami kegagalan. Hal ini merupakan cermin dari adanya tuntutan untuk merasakan superioritas atas orang lain. Prasangka berfungsi membantu memenuhi kebutuhan itu.

Kita tahu bahwa prasangka tumbuh lebih subur pada masyarakat yang kondisi sosial ekonominya rendah, berada di bawah ancaman, dan pada kelompok minoritas. Mengapa? Menurut teori psikodinamika, mereka memiliki kebutuhan untuk menjadi superior yang lebih tinggi sebagai kompensasi atas keadaan mereka yang inferior. Lalu prasangka memberikan mereka rasa superior.

Teori psikodinamika mencakup teori frustrasi-agresi yang menyebutkan prasangka sebagai hasil dari agresi yang dialihkan (displacement). Displacement adalah kecenderungan untuk mengarahkan kekejaman secara langsung kepada target yang tidak dapat secara nyata ditunjukkan sebagai sumber kesulitan. Artinya seseorang tidak dapat membuktikan bahwa seseorang atau sekelompok orang merupakan sumber dari kesulitan yang dideritanya. Akan tetapi ia merasa bahwa merekalah sumber kesulitan yang dideritanya. Sebagai kompensasi karena ia tidak bisa melakukan tindakan apa-apa terhadap sumber kesulitan maka ia memunculkan prasangka.

Pada diri seseorang terdapat kecenderungan untuk memproyeksikan karakteristik internal kepada orang atau objek lain. Misalnya sifat-sifat kasar yang dimiliki diproyeksikan kepada anggota kelompok lain. Dianggapnya kelompok lainlah yang memiliki sifat kasar, padahal sesungguhnya merupakan sifat-sifat kasar kelompok sendiri. Proyeksi umumnya hanya ada pada kelompok mayoritas. Kekejaman terhadap ingroup (kelompok sendiri) biasanya di projeksikan terhadap outgroup (kelompok lain). Misalnya etnis Jawa membenci dan kejam terhadap etnis Cina, dalam perspektif teori dinamika hal ini karena etnis Jawa memproyeksikan sifat-sifat buasnya kepada etnis Cina. Lalu, etnis Cina mungkin jadi tidak menyukai etnis Jawa karena etnis Jawa memproyeksikan impuls buasnya pada mereka

Penggunaan proyeksi terhadap target kelompok minoritas dan juga displacement sering ditunjukkan dalam bentuk-bentuk ekstrim oleh orang-orang yang menderita sakit mental, sadis dan paranoid. Mereka menggunakan prasangka untuk merasionalisasi dan menerangkan perilaku menyimpang mereka. Misalnya prasangka yang dimiliki dijadikan alasan untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok yang diprasangkai.

Faktor sosial penyebab prasangka

Prasangka merupakan hasil dari adanya interaksi sosial, maka cukup mudah menemukan sebab-sebab prasangka dalam kehidupan sosial. Faktor sosial yang menciptakan prasangka antar kelompok setidaknya bisa dikategorikan ke dalam enam hal, yakni: akibat konflik sosial antar individu dan antar kelompok, akibat perubahan sosial, akibat struktur sosial yang kaku, akibat keadaan sosial yang tidak adil, akibat terbatasnya sumber daya, dan adanya politisasi pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari adanya prasangka.

Bagaimana faktor sosial di atas bisa menyebabkan munculnya prasangka dan mengapa prasangka muncul dalam interaksi sosial? Ada beberapa teori dalam ilmu psikologi yang bisa menjelaskan hal tersebut, yakni karena adanya perbandingan sosial, adanya identitas sosial, adanya deprivasi relatif, adanya konflik-realistis dan adanya frustrasi. Berikut penjelasannya masing-masing :

1. Identitas sosial

“Anda apa?” Jika anda menjawab pengacara (karena anda pengacara), maka itulah identitas sosial anda. Jika anda menjawab muslim (karena anda muslim), maka itulah identitas sosial anda. Identitas sosial adalah identitas yang anda pakai dengan penuh penghayatan karena anda anggota kelompok sosial tertentu. Artinya, seseorang memiliki kelekatan emosional terhadap kelompok sosialnya.

Orang memakai identitas sosialnya sebagai sumber dari kebanggaan diri dan harga diri. Semakin positif kelompok dinilai, maka semakin kuat identitas kelompok yang dimiliki dan akan memperkuat harga diri. Sebaliknya jika kelompok yang dimiliki dinilai memiliki prestise yang rendah maka hal itu juga akan menimbulkan identifikasi yang rendah terhadap kelompok. Apabila terjadi sesuatu yang mengancam harga diri maka kelekatan terhadap kelompok akan meningkat dan perasaan tidak suka terhadap kelompok lain juga meningkat. Demikanlah, akhirnya prasangka diperkuat.

Sebagai upaya meningkatkan harga diri, seseorang akan selalu berusaha untuk memperoleh identitas sosial yang positif. Upaya meningkatkan identitas sosial yang positif itu diantaranya dengan membesar-besarkan kualitas kelompok sendiri sementara kelompok lain dianggap kelompok yang inferior. Secara alamiah memang selalu terjadi ingroup bias yakni kecenderungan untuk menganggap kelompok lain lebih memiliki sifat-sifat negatif atau kurang baik dibandingkan kelompok sendiri.

peplooTidak setiap orang memiliki derajat identifikasi yang sama terhadap kelompok. Ada yang kuat identifikasinya dan ada pula yang kurang kuat. Orang dengan identifikasi sosial yang kuat terhadap kelompok cenderung untuk lebih berprasangka daripada orang yang identifikasinya terhadap kelompok rendah. Secara umum derajat identifikasi seseorang terhadap kelompok dibedakan menjadi dua yakni high identifiers dan low identifiers. High identifiers mengidentifikasikan diri sangat kuat, bangga, dan rela berkorban demi kelompok. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan melindungi dan membela kelompok kala mendapatkan imej yang buruk. Dalam situasi yang mengancam kelompok, orang dengan high identifiers akan menyusun strategi kolektif untuk menghadapi ancaman tersebut.

Sebaliknya low identifiers kurang kuat mengidentifikasikan ke dalam kelompok. Orang dengan identifikasi rendah terhadap kelompok ini akan membiarkan kelompok terpecah-pecah dan melepaskan diri mereka dari kelompok ketika berada di bawah ancaman. Mereka juga merasa bahwa anggota-anggota kelompok kurang homogen.

2. Perbandingan sosial

Pernahkah anda tidak membandingkan diri anda dengan orang lain? Meskipun tidak sering, anda pasti pernah melakukannya. Merupakan hal alamiah, kita selalu membandingkan diri kita dengan orang lain dan kelompok kita dengan kelompok lain. Hal-hal yang dibandingkan hampir semua yang kita miliki, mulai dari status sosial, status ekonomi, kecantikan, karakter kepribadian dan sebagainya. Konsekuensi dari pembandingan adalah adanya penilaian sesuatu lebih baik atau lebih buruk dari yang lain. Apakah anda merasa lebih baik dibandingkan orang lain? Dalam hal apa anda merasa lebih baik?

Melalui perbandingan sosial kita menyadari posisi diri kita di mata orang lain dan masyarakat. Kita menjadi sadar kelas sosial kita, sadar prestise dan reputasi kita, serta sadar sikap oang lain terhadap kita. Kesadaran akan posisi ini tidak akan melahirkan prasangka bila kita menilai orang lain relatif memiliki posisi yang sama. Prasangka terlahir ketika orang menilai adanya perbedaan yang mencolok. Artinya keadaan status yang tidak seimbanglah yang akan melahirkan prasangka. Pada masyarakat yang perbedaan kekayaan anggotanya begitu tajam prasangka cenderung sangat kuat. Sebaliknya bila status sosial ekonomi relatif setara prasangka yang ada kurang kuat.

Para sosiolog menyebutkan bahwa prasangka dan diskriminasi adalah hasil dari stratifikasi sosial yang didasarkan distribusi kekuasaan, status, dan kekayaan yang tidak seimbang diantara kelompok-kelompok yang bertentangan. Pada masyarakat yang terstruktur dalam stratifikasi yang ketat, kelompok dominan dapat menggunakan kekuasaan mereka untuk memaksakan ideologi yang menjustifikasi praktek diskriminasi untuk mempertahankan posisi menguntungkan mereka dalam kelompok sosial. Hal ini membuat kelompok dominan berprasangka terhadap pihak-pihak yang dinilai bisa menggoyahkan hegemoni mereka. Sementara itu kelompok yang didominasi berprasangka terhadap kelompok dominan karena kecemasan akan dieksploitasi.

3. Deprivasi relatif

Deprivasi relatif adalah keadaan psikologis dimana seseorang merasakan ketidakpuasan atas kesenjangan/kekurangan subjektif yang dirasakannya pada saat keadaan diri dan kelompoknya dibandingkan dengan orang atau kelompok lain. Keadaan deprivasi bisa menimbulkan persepsi adanya suatu ketidakadilan. Sedangkan perasaan mengalami ketidakadilan yang muncul karena deprivasi akan mendorong adanya prasangka. Misalnya di suatu wilayah, sekelompok etnis A bermata pencaharian sebagai petani padi sawah. Masing-masing keluarga etnik tersebut mengerjakan sawah seluas 2 ha. Rata-rata hasil panenan yang didapatkan setiap kali panen (1 kali setahun) adalah 8 ton padi. Mereka sangat puas dengan hasil tersebut dan merasa beruntung. Kemudian datanglah sekelompok etnis B yang juga mengerjakan sawah di wilayah itu dengan luas 2 ha per keluarga. Ternyata, hasil panenan kelompok etnis B jauh lebih banyak (14 ton sekali panen). Sejak itu muncullah ketidakpuasan etnis A terhadap hasil panenannya karena mengetahui bahwa etnis B bisa panen lebih banyak. Ketidakpuasan yang dialami etnis A itu merupakan deprivasi relatif.

Pada awal kedatangan etnis B, mereka disambut baik oleh etnis A. Akan tetapi setelah etnis B berhasil memanen padi di sawah barunya, mulailah timbul ketidaksukaan etnis A terhadap etnis B. Etnis A menuduh etnis B berkolusi dengan petugas pengairan sehingga mendapatkan pengairan yang lebih baik karenanya hasil panenannya lebih baik. Etnis A mulai merasakan adanya perlakuan yang tidak adil dari petugas pengairan terhadap mereka, meski sebenarnya tidak ada pembedaan perlakuan dari petugas tersebut. Tidak hanya itu, dalam berbagai hal etnis A pun jadi berprasangka terhadap etnis B, dan mulai tidak menerima kehadiran etnis B.

Ilustrasi di atas menggambarkan timbulnya prasangka akibat dari deprivasi relatif. Hal demikian seringkali terjadi terutama di daerah-daerah dimana terdapat penduduk asli dan penduduk pendatang dalam jumlah besar. Contoh paling bagus adalah daerah transmigrasi dimana penduduk asli tinggal tidak jauh dari daerah itu. Sepanjang kondisi ekonomi penduduk asli masih lebih baik daripada transmigran, penerimaan penduduk asli terhadap transmigran akan berjalan baik. Akan tetapi begitu kondisi ekonomi pendatang menjadi lebih baik daripada penduduk asli maka mulai timbullah deprivasi relatif dari penduduk asli, halmana mulai menimbulkan prasangka dan berbagai gejolak lainnya.

4. Konflik-Realistis

Menurut teori konflik-realistik (Realistic Conflict Theory), prasangka timbul karena kompetisi yang terjadi antara berbagai kelompok sosial yang berbeda untuk meraih kesempatan atau sumber daya yang terbatas. Prasangka bisa muncul dan berkembang sebagai efek samping perjuangan berbagai kelompok memperebutkan pekerjaan, perumahan yang memadai, sekolah yang baik, lahan pertanian, dan lainnya. Apabila kesempatan dan sumber daya melimpah, umumnya prasangka antar kelompok rendah karena orang-orang tidak perlu bersaing keras mendapatkannya. Sedangkan apabila kesempatan dan sumber daya yang tersedia sangat terbatas jumlahnya, biasanya prasangka di daerah tersebut cukup tinggi.

Terjadinya prasangka di daerah-daerah pertambangan rakyat, seperti pertambangan emas di Kalimantan, di Rejang Lebong, dan di beberapa tempat lain umumnya didorong oleh adanya konflik kepentingan untuk berebut sumberdaya tambang yang ada. Demikian juga prasangka antara warga asli dengan warga pendatang di daerah-daerah yang dijadikan pemukiman transmigrasi umumnya karena adanya perebutan sumberdaya ekonomi yang terbatas.

Persaingan memperebutkan sumberdaya yang terbatas seringkali berujung pada timbulnya konflik. Konflik-konflik itu seringkali dipicu oleh prasangka. Sebaliknya, konflik antar kelompok yang membesar akan menyebarkan prasangka dan diskriminasi. Jadi, prasangka merupakan pemicu konflik sekaligus sebagai hasil dari konflik. Prasangka memicu konflik karena prasangka menciptakan kondisi hubungan sosial yang penuh ketegangan. Prasangka sebagai hasil konflik karena konsekuensi munculnya sikap permusuhan terhadap kelompok lain.

Pada saat kerusuhan dan kekerasan antarkelompok terjadi, prasangka antara kelompok bertikai menguat. Semakin besar skala kerusuhan yang terjadi, prasangka yang timbul cenderung semakin besar. Sebagai contoh, kekerasan antara etnis Dayak dan etnis Madura di Kalimantan, seperti tragedi Sampit dan tragedi Sambas, telah menyebarkan prasangka diantara etnis Dayak terhadap etnis Madura dan sebaliknya diantara etnis Madura terhadap etnis Dayak. Padahal mungkin saja sebelum kerusuhan banyak diantara mereka memiliki hubungan yang sangat baik.

5. Frustrasi

Prasangka bisa muncul sebagai hasil dari adanya frustrasi (frustration-agression hypothesis), dimana pencapaian tujuan mungkin dihalangi pihak lain. Seseorang yang dalam mencapai tujuan dihalangi pihak lain ini akan cenderung berprasangka terhadap pihak-pihak yang dianggap menghalangi itu. Dalam hal ini prasangka mungkin merupakan mekanisme mempertinggi harga diri atau untuk mengalahkan dan mengalihkan ancaman terhadap harga diri. Jadi, ketika seseorang merasa tidak akan mencapai sesuatu, ia tidak ingin tampak sebagai orang gagal karena kegagalan membuat harga dirinya terancam. Maka ia akan berprasangka pada orang-orang atau kelompok lain agar harga dirinya tidak terancam.

Frustrasi seringkali menimbulkan agresi meski tidak selalu berbentuk agresi terbuka. Namun kadangkala karena sumber frustrasi tidak mungkin menjadi sasaran agresi maka agresinya dialihkan kepada pihak lain. Pengalihan agresi ini biasa dikenal sebagai pengkambinghitaman yang merupakan bentuk dari prasangka. Biasanya sasaran pengkambinghitaman adalah kelompok-kelompok yang subordinat dan lemah, atau kelompok minoritas. Sebagai contoh pada tahun 1997/1998 di saat negara kita mengalami krisis ekonomi, etnis Cina dituding sebagai biang keladinya. Pada saat itu prasangka terhadap etnis Cina meningkat dan sebaliknya etnis Cina juga menjadi lebih berprasangka terhadap etnis lainnya.

socialStruktur sosial yang kaku merupakan salah satu penyebab frustrasi karena mobilitas sosial vertikal yang terhambat. Misalnya anda seorang sarjana yang bekerja mula-mula sebagai resepsionis di hotel. Jika selamanya tidak akan ada peningkatan karir dan penghasilan, bukankah anda bisa frustrasi?! Pada banyak negara yang menerapkan sistem pemerintahan otoriter dan tertutup dimana mobilitas sosial masyarakatnya sangat terbatas, aspirasi untuk maju dan berkembang warganya sulit diwujudkan, biasanya prasangka yang ada diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat cukup tinggi. Antar kelompok saling prasangka memprasangkai. Berdasarkan teori frustrasi-agresi, prasangka yang muncul merupakan akibat dari timbulnya frustrasi atas keadaan sosial yang tidak memfasilitasi keinginan individu ataupun kelompok untuk maju dan berkembang.

Apakah faktor genetika menjadi penyebab prasangka?

Menurut sebagian ahli, prasangka memiliki dasar biologis. Kecenderungan tidak menyukai kelompok lain dan hal-hal lain yang bukan milik sendiri, dianggap sebagai warisan genetik. Pendekatan ini diistilahkan sebagai genetic similarity theory. Asumsinya, gen akan memastikan kelestariannya dengan mendorong reproduksi gen yang paling baik, yakni yang memiliki kesamaan. Buktinya kita dan nenek moyang kita memiliki kesamaan gen, sehingga bisa dilacak. Maka, menurut teori ini, orang-orang yang mirip satu sama lain atau yang menunjukkan pola sifat yang mirip sangat mungkin memiliki gen-gen yang lebih serupa dibandingkan dengan yang tidak mirip. Misalnya orang-orang yang berasal dari etnik yang sama memiliki gen yang relatif lebih mirip daripada dengan orang dari etnik yang berbeda.

Menurut teori kesamaan gen, faktor kesamaan gen dalam satu etnik dimungkinkan sebagai faktor yang menyebabkan individu berperilaku lebih murah hati terhadap anggota etniknya daripada kepada etnis yang berbeda. Ketakutan dan kekurangpercayaan terhadap orang asing juga telah terpetakan dalam gen, sebab meskipun orang asing tidak membahayakan sama sekali, kecenderungan curiga dan tidak percaya tetap ada. Hal ini memberikan kontribusi nyata terhadap munculnya prasangka.

Senin, 20 September 2010

IPS DaN HakeKaT nYa

1. Konsep Geografi
a. Lokasi
Lokasi adalah posisi suatu obyek di permukaan bumi, lokasi terbagi atas lokasi absolut dan lokasi relatif. Lokasi absolut adalah lokasi yang berdasarkan koordinat garis lintang dan garis bujur Misalnya, Indonesia terletak di antara 6° LU–11° LS dan antara 95° BT–141° BT .Sedangkan lokasi relatif adalah lokasi yang dipengaruhi oleh kondisi fisik, sosial, ekonomi, budaya, dan keberadaan sarana transportasi dengan daerah sekitarnya. Misalnya, Indonesia terletak di antara dua samudra dan dua benua, serta dilalui oleh dua jalur pegunungan dunia.
b. Jarak
Jarak dibagi menjadi jarak absolut dan jarak relatif. Jarak absolut merupakan jarak yang ditarik garis lurus antara dua titik. Dengan demikian jarak absolut adalah jarak yang sesungguhnya. Jarak relatif adalah jarak atas pertimbangan tertentu misalnya rute, waktu, biaya, kenyamanan dsb. Misalnya jarak Jakarta ke Bandung 180 km atau Jakarta – Bandung dapat ditempuh dalam waktu 3 jam melewati Puncak. Kedua hal ini merupakan contoh jarak relatif berdasarkan pertimbangan rute dan waktu.
c. Keterjangkauan
Keterjangkauan merupakan konsep geografi yang berkaitan dengan kemudahan sarana dan prasarana untuk mencapai suatu tempat
d. Pola
Pola adalah sesuatu yang berulang sehingga menampakan suatu bentuk tertentu yang konsisten, misalnya pemukiman yang memanjang di tepi aliran sungai bisa kita sebut sebagai pola pemukiman memanjang sungai.
e. Morfologi
Morfologi adalah konsep geografi yang berkaitan dengan bentuk-bentuk muka bumi, contohnya: lembah, bukit, gunung dll.
f. Aglomerasi
Konsep Aglomerasi yaitu pola-pola pengelompokan/konsentrasi. Misalnya sekelompok penduduk asal daerah sama, masyarakat di kota cenderung mengelompok seperti permukiman elit, pengelompokan pedagang dan sebagainya. Di desa masyarakat rumahnya menggerombol/mengelompok di tanah datar yang subur
g. Nilai Kegunaan
Nilai Kegunaan adalah konsep geografi yang berkaitan dengan nilai guna dari suatu tempat yang berbeda beda..
h. Interaksi & Interpendensi
Konsep Interaksi dan Interdependensi yaitu keterkaitan dan ketergantungan suatu tempat dengan tempat lainnya. Misalnya antara kota dan desa sekitarnya terjadi saling membutuhkan.
i. Diferensiasi Area
Diferensiasi area adalah konsep geografi yang memandang bahwa setiap tempat memiliki karakteristik atau ciri yang berbeda.
j. Keterkaitan Keruangan
Keterkaitan keruangan adalah konsep geografi yang menunjukan adanya keterkaitan antar wilayah, baik alam maupun sosial. Contoh tanaman teh biasanya berada di daerah pegunungan, pohon kelapa biasanya berada di dataran rendah.
2. Prinsip-Prinsip Geografi

1. Prinsip Persebaran/Distribusi

Prinsip Persebaran adalah prinsip geografi yang berkenaan dengan persebaran gejala di permukaan bumi yang cenderung tersebar tidak merata.

2. Prinsip Interelasi

Prinsip Interelasi adalah prinsip geografi yang berkenaan dengan hubungan timbal balik (interelasi) antara gejala yang satu dan gejala yang lainnya.

3. Prinsip Deskripsi

adalah prinsip geografi yang berkenaan dengan pemaparan (deskripsi) suatu gejala di permukaan bumi baik melalui tulisan, tabel, diagram, peta, atau video.

4. Prinsip Korologi

Prinsip Korologi (keruangan) adalah prinsip geografi yang berkenaan dengan kajian gejala, fakta, dan masalah geografi ditinjau dari aspek persebaran, interelasi, dan interaksinya dalam ruang (permukaan bumi) yang membentuk suatu integritas atau kesatuan tertentu


3. Pendekatan Geografi
a. Pendekatan Keruangan (spasial)
Pendekatan keruangan artinya geografi selalu melihat ruang dalam pengertian tiga dimensi, yaitu atas (atmosfer), bawah (litosfer), dan luasan (hidrosfer, biosfer, dan antroposfer)
b. Pendekatan Kelingkungan (ekologi)
Pendekatan kelingkungan artinya geografi selalu melihat bagaimana hubungan dan keterkaitan antara aspek fisikal dan makhluk hidup lainnya pada ruang permukaan bumi
c. Pendekatan Kompleks Wilayah
Pendekatan Kompleks Wilayah artinya geografi selalu melihat ruang sebagai wadah yang memiliki keunikan atau perbedaan dengan wilayah lainnya sebagai hasil interelasi dan integrasi antara aspek fisik dan manusia yang berada di dalamnya.

tips agar belajar fisika bisa lebih mudah

Berikut beberapa tips agar belajar fisika bisa lebih mudah atau minimal kelihatan mudah :

1. Baca dan pahami materi yang akan dipelajari. Sebelum pembelajaran dimulai kita harus tahu materi apa yang akan dipelajari, manfaatnya, bahkan kalau bisa cari juga relevansinya dengan kehidupan. Jika perlu tanya guru fisikanya.
2. Cari materi penghubung dan pendukung materi yang akan dipelajari. Guru kadang lupa melakukan apersepsi atau menghubungkan materi baru dengan materi sebelumnya padahal selalu ada hubunganya. Jangan malu untuk bertanya pada guru. Hal ini bisa memudahkan kita menarik benang merah antara materi baru dengan materi sebelumnya.
3. Pahami rumus, bukan hapalkan rumus. Rumus fisika kadang merupakan rumus turunan dari rumus pada materi sebelumnya, pahami alurnya. Hindari hanya menghapal rumus. Setelah kita paham rumus, hafal akan mengikuti dengan sendirinya. Kalau guru langsung menyodorkan rumus, jangan segan untuk bertanya. Mealalui rumus yang dipahami dengan konsep yang benar kita bisa menjelaskannya dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Insya Allah dengan memahami penurunan rumus, kita akan merindukan belajar fisika.
4. Pelajari materi dasar sebelum ke materi pokok. Sebelum mempelajari rumus akhir, pelajari konsep materi yang disampaikan, pelajari materi dari yang mudah dulu, yang ada relevansinya dengan materi sebelum dan selanjutnya, kemudian ke materi pokok.
5. Mudah dengan banyak berlatih. Banyak berlatih dengan mengerjakan soal adalah salah satu kunci memahami fisika dengan mudah, berlatih dengan soal yang mudah terlebih dulu. Kemudian bertahap dan pahami soal yang relatif lebih sulit. Berlatihlah sesering mungkin.
6. “Ini sulit, tapi Insya Allah saya bisa”, bukan “Ini Insya Allah saya bisa, tapi sulit’. Kalimat pertama mencerminkan optimisme, yang kedua sebaliknya kalimat orang pesimis.
7. Sayangi guru & jangan benci. Biasanya siswa yang membenci gurunya sekaligus tidak menyukai mata pelajaran yang diajarkannya.

Insya Allah fisika itu mudah & menyenangkan!