Sabtu, 23 Oktober 2010

PENGARUH BUDAYA DALAM PENANGGULANGAN TERORISME

Determinasi kebudayaan ditentukan oleh faktor-faktor geografis, demo-grafis, sosial ekonomi, ideologi politik, sosial budaya, dan kondisi keamanan. Kondisi determinasi kebudayaan Indonesia saat ini memperilihatkan hal - hal sebagai berikut :

Pertama, kondisi geografis Indonesia yang sangat luas yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, terdiri dari berbagai pulau yang dikelilingi lautan, memiliki dataran rendah dan tinggi yang cukup luas, udara tropis yang diametral antar musim hujan dan musim kemarau telah membentuk karakter-karakter manusia Indonesia yang beragam yang tersebar di seluruh wilayah. Namun kondisi geografis yang sangat luas ini yang berbatasan dengan beberapa negara belum seluruhnya terjaga dan terpelihara sebagai satu kesatuan Negara Republik Indonesia. Masih terdapat pulau - pulau yang tidak bernama dan terpencil dengan batas - batas dengan Negara lain yang tidak jelas.

Kedua, penduduk Indonesia yang besar dan plural dimana memiliki berbagai macam suku bangsa, agama, ras, dan antar golongan (SARA) memiliki sub - sub kebudayaan yang sangat besar dan potensial bagi upaya membangun kebudayaan nasional. Namun kondisi saat ini (10 tahun terakhir) menunjukan timbulnya gejala konflik yang bernuansa SARA pada masyarakat Indonesia, yang ditenggarai disebabkan karena prasangka-prasangka budaya yang bertali - temali dengan munculnya deprivasi pada masyarakat, serta belum selesainya pembangunan karakter bangsa (national character building).

Ketiga, kondisi sosial ekonomi sejak terjadinya krisis multidimensional masih belum sepenuhnya bangkit, masih menyisakan banyak penduduk yang kehidupannya di bawah garis kemiskinan, dan banyaknya pengangguran. Sementara kesenjangan ekonomi masih terlalu besar di kalangan masyarakat Indonesia. Kondisi ini telah menciptakan deprivasi pada masyarakat baik deprivasi absolut maupun deprivasi relatif, yang banyak menumbuhkan konflik - konflik sosial psikologi di dalam kehidupan masyarakat, dan telah menumbuhkan sikap dan perilaku kekerasan.

Keempat, Kondisi ideologi bangsa Indonesia saat ini, sekalipun secara resmi dinyatakan ideologi Pancasila, namun sebenarnya telah mengalami polarisasi. Masih terdapat sebagian masyarakat yang menginginkan bukan Pancasila sebagai dasar ideologi negara, melainkan ideologi lain, baik secara resmi dicantumkan pada partai - partai politik, maupun melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan, dan pergerakan-pergerakan yang tidak berbentuk (organisasi tanpa bentuk). Kondisi ini telah memunculkan dinamika pada upaya mewujudkan ideologi tersebut. Sementara itu dinamika Politik Indonesia sejak munculnya gerakan reformasi mengarah pada terciptanya demokratisasi dalam kehidupanbermasyarakat,berbangsa dan bernegara, serta desentralisasi dalam pengelolaan negara. Namun demikian pada masa transisi dimana masyarakat belum memahami benar makna demokrasi, kondisi ekonomi yang masih terpuruk yang berakibat pada timbulnya deprivasi pada masyarakat, rendahnya kondisi sosial (pendidikan dan kesehatan) sebagaimana tercermin pada wilayah - wilayah penelitian (Propinsi Lampung, Banten, DKI Jaya, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan) telah menimbulkan deviasi dan berbagai ekses pada pelaksanaan demokrasi, yang berdampak pada munculnya perilaku antara lain: pengutamaan kepentingan individu dan kelompok, muncul konflik-konflik dan kekerasan pada masyarakat.

Kelima, kondisi sosial masyarakat Indonesia sebagaimana tercermin pada ke 6 Propinsi wilayah penelitian, sejak terjadinya krisis multidimensional telah mengalami penurunan, baik pada pendidikan (banyaknya anak yang putus sekolah), kesehatan (gizi buruk, flu burung, dan lain-lain) sehingga kualitas hidup masyarakat Indonesia semakin rendah. Pada saat ini sekalipun secara perlahan menunjukan kenaikan, namun belum sepenuhnya meningkat, masih relatif banyak masyarakat yang buta huruf, dan kualitas kesehatan yang buruk.

Beberapa faktor yang dikemukakan responden yang diyakini sebagai faktor- faktor yang mendorong terjadinya terorisme di Indonesia

Keenam, sementara itu nilai-nilai budaya yang terdapat pada berbagai macam suku bangsa, agama, ras, dan golongan yang ada di Indonesia pada dasarnya masih memiliki budaya adiluhung sebagai sumber nilai sosial budaya nasional Indonesia sebagaimana tercermin pada 6 wilayah penelitian, seperti budaya gotong royong, budaya cinta kasih, budaya kebersamaan, budaya persatuan, Namun beberapa nilai budaya, telah banyak dilupakan, tidak dikenali masyarakat pendu-kungnya, bahkan telah mengalami pendangkalan (degradasi} makna, yang disebabkan adanya penetrasi budaya lain yang secara perlahan namun sistematis telah mengubah perilaku (budaya) masyarakat Indonesia kearah yang berlainan dengan budaya asli yang adiluhung, seperti individualisme, ekslusifisme, fanatisme, kekerasan.

Ketujuh, kondisi keamanan pasca keruntuhan Orde Baru yang ditandai dengan terjadinya krisis multidimensional mengalami titik nadir; berbagai kerusuhan hampir terjadi diseluruh belahan nusantara, serta pada beberapa daerah timbul separatisme yang menuntut kemerdekaan dan otonomi daerah. Sementara gerakan reformasi yang mengusung pembaharuan telah menyebabkan berbagai perubahan yang memerlukan penyesuaian dan berakibat timbulnya anomali pada masyarakat dan beberapa kelem - bagaan kenegaraan termasuk aparat keamanan. Kondisi ini telah mengakibatkan munculnya berbagai permasalahan sosial, serta tindak kejahatan baik yang bersifat konvensional, maupun transnasional.

Kedelapan, selain faktor - faktor determinasi kebudayaan Indonesia yang mulai mengalami perubahan atau yang sering pula disebut sebagai faktor perubahan lingkungan strategis nasional, terdapat pula beberapa faktor Internasional (lingkungan strategis global), yang memiliki pengaruh yang cukup besar bagi perubahan peta budaya yang menimbulkan munculnya persaingan peradaban pasca selesainya perang dingin, dimana Negara - negara Barat khususnya Amerika Serikat dianggap sebagai agen tunggal penyebar peradaban internasional, khususnya budaya kapitalis liberal.

Dari hasil penelitian Ditjianbang Sespim Polri, menun¬jukan kondisi factor - faktor deter-miasi budaya tersebut telah membentuk sub - sub budaya baik yang mendorong terhadap tindak kekerasan sebagai ciri dan karak-teristik terorisme maupun nilai - nilai budaya yang dapat digunakan sebagai konduktor dinamik dalam mencegah timbulnya terorisme.

Kondisi faktor - faktor determinasi budaya yang mulai menurun telah dimanfaatkan oleh kelompok terorisme guna mewujudkan kepentingannya, dengan melakukan interaksi budaya baik secara sendiri-sendiri pada faktor determinasi tersebut maupun secara akumulasi yang dapat dijadikan alasan tindakan - tindakan tero¬risme, ataupun dalam upaya membangun kekuatan agarpaham-paham yang tebarkan terorisme diterima bangsa Indonesia. Hal ini dapat tercermin dari hasil penelitian terdapat beberapa faktor yang diyakini responden sebagai faktor-faktor yang menyebabkan terjadiya terorisme di Indonesia, dan sub - sub kebudayaan dianggap sebagai area kondisioning yang dijadikan sarana untuk memudahkan penebaran paham dan pergerakan terorisme di Indonesia.

Beberapa faktor yang dikemukakan responden yang diyakini sebagai factor - faktor yang mendo¬rong terjadinya terorisme di Indonesia, yakni :

Pertama, disebabkan karena adanya kepentingan individu dan kelompok para pelaku (Rata-rata = 3,0467, Std Dev = 0,90726). Responden meyakini bahwa para teroris memiliki kepentingan individu maupun kelompok, alas an - alasan ketidakadilan, penindasan sebagai alasan solidaritas terhadap sesama kaum hanyalah alasan untuk mengalihkan perhatian dari kepen¬tingan yang sesungguhnya seperti kepentingan politik (63%).

Kedua, berkaitan dengan upaya untuk memperjuangkan kesejahte-raan oleh suatu kelompok tertentu. Hal ini disampaikan oleh sebagian responden, namun sebagian besar lainnya menyatakan sebaliknya dan menjadi bahan pertentangan sebagaimana diperlihatkan oleh nilai Standar Deviasi yang sangat tinggi (Rata-rata = 2,5703, nilai Std. Deviasi = 1, 36764).

Ketiga, adanya fanatisme sekelompok orang terhadap aliran agama tertentu atau kepercayaan yang mereka anut. (Rata-rata = 2,9180 Std. Deviasi = 0,94690). Hasil penelitian menunjukan bahwa fanatisme kelompok telah menye¬babkan terjadinya perbedaan penafsiran terhadap ajaran - ajaran agama. Penafsiran terhadap ajaran agama yang keliru sering menimbulkan kesesatan yang berdampak pada munculnya perilaku - perilaku yang menyimpang dari pandangan masyarakat pada umumnya.

Keempat, teror yang terjadi di Indonesia disebabkan sebagai protes atas ketidakadilan (kesemena-menaan) pihak - pihak lain di luar Pemerintah RI (Rata-rata = 3,0926 Std. Deviasi = 1,37675). Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya sering dijadikan alasan melakukan teror di wilayah - wilayah yang dianggap memiliki hubungan dengan Amerika dan Sekutunya, serta terdapatnya beberapa kepen¬tingan Amerika dan Sekutunya di wilayah tersebut.

Kelima, disebabkan karena adanya kekhawatiran atas perubahan budaya yang cenderung menuju kepada terciptanya budaya kapitalis liberal (Rata-rata = 3,0899. Std. Deviasi = 0,95297). Perlawanan atas kekhawatiran terhadap peru bahan budaya ke arah budaya kapitalis liberal dilakukan kelompok teroris melalui metode teror.

Keenam, sikap dan perilaku masyarakat yang cenderung mela¬kukan tindakan kekerasan dapat memudahkan penyebaran paham terorisme di kalangan masyarakat (Rata rata = 2,9793. Std. Dev = 0,93745).

Keenam faktor pendorong tersebut satu sama lain saling mempengaruhi. Oleh karena itu faktor-faktor yang menj adi penyebab munculnya terorisme di Indonesia tidak bersifat tunggal, melainkan akumulasi dari berbagai faktor tersebut, yang secara bersama - sama mendorong munculnya terorisme di Indonesia.

Selain factor - faktor yang dapat mendorong munculnya perilaku teroris dalam masyarakat Indonesia, terdapat pula factor - faktor budaya yang terdapat dalam masyarakat Indonesia diyakini responden memudahkan munculnya terorisme di Indonesia, yakni :

Pertama, tindakan terorisme yang dilakukan para teroris menurut sebagian responden disebabkan ada¬nya budaya kekerasan dalam masyarakat (Rata-rata = 2,8746. Std. Dev = 0,94145). Kekerasan yang muncul di masyarakat, memberikan spirit pada munculnya tindakan terorisme. Kekerasan yang muncul bukan karena faktor nilai budayanya melainkan pemaknaan terhadap nilai - nilai budaya dan agama yang keliru. Penyimpangan terhadap nilai budaya disebabkan karena pemahaman yang belum sempurna sebagai akibat proses pembelajaran tidak tuntas. Hal ini menunjukan dalam hal seseorang memutuskan untuk mengikuti paham teror atau bertindak melakukan teror, tidak seluruhnya didorong oleh faktor-faktor budaya, bahkan yang terbesar adalah pengaruh dari lingkungan sekitar budaya tersebut. Ini yang menunjukan adanya disparitas dalam penerimaan paham-paham.

Kedua, sikap dan perilaku masyarakat yang bersifat indivi-dualistis menyebabkan para teroris dengan mudah bersembunyi, dan melakukan pergerakan (Rata-rata = 3,2365. Std. Dev = 0,92256). Hasil penelitian menunjukan bahwa kelompok teroris banyak melakukan pergerakan/aksinya dan persembunyiannya pada daerah-daerah/wilayah yang sebagian besar masyarakatnya memiliki sikap dan perilaku individual.

Ketiga masyarakat yang bersifat tertutup (eksklusif) dapat memudahkan kelompok paham terorisme yang menggunakan tindak kekerasan berkembang di masyarakat (Rata-rata = 3,3267 . Std. Dev = 0,91531). Hasil penelitian menunjukan bahwa paham-paham terorisme banyak ber¬kembang pada masyarakat yang bersifat tertutup (ekslusif), serta masyarakat yang memilki kelompok - kelompok yang bersifat tertutup.

Keempat, proses pembelajaran yang sama dan intens dapat melahirkan kesadaran yang sama tentang sesuatu yang diyakini dan dipahami, sehingga mudah dibe-lokkan untuk kepentingan tindakan terorisme (Rata-rata = 3,1814 . Std. Dev = 0,94594). Hasil penelitian menunjukkan kelompok terorisme terbentuk bukan hanya dalam hitungan jam atau hari, melainkan terbentuk melalui proses pembe¬lajaran, dan melalui beberapa tahap metode pembelajaran.

Kelima, sistern kekerabatan di kalangan masyarakat menurut sebagian besar responden sering dimanfaatkan untuk mempermudah proses rekruitmen bagi anggota suatu jaringan teroris, akan tetapi hal ini menjadi sesuatu yang dipertentangkan oleh para responden sebagaimana diperlihatkan oleh nilai Standar Deviasi yang sangat tinggi (Rata-rata = 3,0203 . Std. Dev = 1,35101).

Keenam, kondisi lingkungan serta latar belakang ideologi yang sama menurut sebagian responden dapat membentuk kelompok kelompok eksklusif (tertutup) yang berkembang menjadi kelompok teroris (Rata- rata = 2,9940 . Std. Dev = 0,93998). Responden meyakni bahwa teroris berkembang di Indonesia pada kelompok-kelompok yang memiliki latar bekang ideologi yang sama. Ideologi adalah sesuatu pandangan yang diyakini oleh kelompoknya sesuatu yang benar, oleh karena itu harus diperjuangkan. Pandangan tersebut menyangkut : prinsip - prinsip hidup yang fundamental; prinsip-prinsip kehidupan sosial ekonomi, politik, budaya, dan hukum, seperti sistem ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum; prinsip - prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti sistem pemerintahan; strategi dan metode untuk mencapai tujuan.

Di Indonesia, terdapat kemiripan ideologi yang dianut kelompok terorisme dengan kelompok yang akan mendirikan Negara Islam Indonesia (Nil). Oleh karena itu banyak anggota Nil yang terlibat teror.

Ikatan darah (genealogist sering dipergunakan untuk membentuk kelompok guna kepentingan para teroris. (Rata-rata = 2,8509. Std. Dev = 0,93753). Hasil penelitian menunjukan banyak warga negara Indonesia yang terlibat kelompok teroris memiliki ikatan darah satu sama lain baik melalui perkawinan atau langsung.

Ikatan emosional yang menggunakan kedok agama menurut para responden sangat mudah dijadikan sarana untuk mengembangkan paham dan aksi teror di dalam masyarakat (Rata-rata = 3,0424 . Std.Dev = 0,93044). Hasil penelitian menunjukan faktor solidaritas keagamaan merupakan faktor yang sangat kuat digunakan kelompok teroris yang ada di Indonesia untuk mengembangkan penyebaran paham -pahamnya. Hal ini mengingat agama merupakan keyakinan yang bersifat dogmatis, sehingga sensitivitas agama sangat kuat bagi para pemeluknya.

Situasi dan kondisi yang sama (dalam kemiskinan, kesedihan, kekalutan, tekanan, kekurangan, kesusahan, kekecewaan, dan lain-lain) memudahkan menjadi pemersatu/perekat guna menerima paham teror dan mengikuti kemauan kelompok teroris (Rata- rata = 3,2541. Std. Dev = 0.92632). Hasil penelitian menunjukan bahwa dilihat dari sisi ekonomi, banyak warga negara Indonesia yang terlibat kelompok terorisme merupakan kelompok masyarakat yang terkatagori miskin, dengan memiliki deprivasi (kekecewaan), kesedihan, kesusahan yang sama satu sama lain.

Berbagai faktor yang mendo-rong munculnya terorisme, serta nilia - nilai sosial budaya yang mempermudah sebagaimana diuraikan di atas memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap penanggulangan terorisme. Hasil uji statistik menunjukan factor - faktor tersebut berkorelasi terhadap upaya-upaya penanggulangan tindakan terorisme sebesar72,4%. Hal ini menunjukkan, bahwa efektivitas upaya - upaya penanggulangan terorisme di tanah air akan sangat ditentukan oleh seberapa efektif factor - faktor yang menjadi prediktor bagi munculnya gerakan atau kegiatan terorisme tersebut dilakukan.

Di dalam masyarakat Indonesia yang berbagai macam suku bangsa, agama, ras, dan antar golongan sebagai tercermin dari hasil penelitian pada 6 propinsi, terdapat nilai - nilai budaya yang adiluhung yang dapat dijadikan pedoman untuk menata kembali perilaku, dan diyakini responden dapat digunakan sebagai daya tolak dan daya tangkal masyarakat dalam menghadapi paham terorisme, yakni :

Pertama, budaya persaudaraan dapat dijadikan sarana untuk menanamkan penolakan masyarakat terhadap terorisme (Rata-rata = 3,4890 . Std. Dev = 0,90286). Budaya persaudaraan hampir dimiliki oleh semua suku bangsa di Indonesia, seperti suku bangsa Lampung memiliki prinsip budaya persudaraan yang tersecermin pada prinsip-prinsip Falsafah Piil Pesengiri yang terdiri dari : Piil Pesenggiri (Prinsip kehormatan), Bejuluk Adek (Prinsip Keberhasilan), Nemui Nyimah (Prinsip Penghargaan), Nengah Nyappur (Prinsip Persamaan), Sakai Sambaian (Prinsip Kerjasama). Pada suku Banten yang penduduknya terdiri dari suku sunda (baduy) dan suku Jawa Serang, terdapat prinsip-prinsip "Ngajaga dulur, ngajaga batur", si lib asih dan silih asuh. Pada masyarakat Jawa (Jawa Tengah dan Timur) terdapat prinsip "tuna satak bathi sanak" (rugi uang sedikit tidak apa-apa, tetapi mendapatkan teman). Begitupula pada masyarakat Sulawesi Selatan (Bugis, Makasar, Mandar, dan Toraja), seperti pada prinsip 'yang Siri' ialah orang yang selalu teliti tutur bahasa, dan halus kepada sesamanya.

Kedua, rasa persatuan dan kesatuan yang berkembang dengan baik dapat dijadikan sarana untuk mempererat gerakan dalam menghadang serta mengeliminasi gerakan terorisme (Rata-rata = 3,4672. Std. Dev - 0,88549). Nilai-nilai ini pada masyarakat Lampung sudah tertanam sejak lama sebagaimana tercermin pada prinsip "Khepot Delom Mufakat", begitu pula pada masyarakat Banten terdapat rasa persatuan dan kesatuan pada istilah "sauyunan jeung nu salembur". Sementara pada masyarakat Jawa terlihat pada ungkapan "mangan ora mangan ivaton kumpul". Pada masyarakat Sulsel pada tercermin pada makna Siri' "tu mate-nisantangi" yang berarti Keteguhan diri dan keteguhan bersama. Oleh karena itu perlu terus dipupuk dan direvitalisasi beserta kelembagaannya.

Ketiga, Pemberian pemahaman yang baik terhadap agama akan mampu menangkal/menolak paham terorisme (Rata-rata = 3,7818 . Std. Dev = 0,87340).
Sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa karateristik terorisme yang ada di Indonesia termasuk pada kelompok religius. Oleh karena itu isue agama menjadi sangat kuat, agama sering dijadikan tameng, atau alasan pembenaran melakukan teror.

Keempat, Untuk itu membudayakan memahami agama dengan benar menurut responden merupakan hal yang sangat penting. Dari nilai yang diberikan responden menunjukan bahwa responden hampir dipastikan sangat sepakat bahwa pemahaman masyarakat akan agamanya masih kurang, oleh karena itu peningkatan pemahaman agar dengan baik harus segera diwujudkan dalam upaya menangkal tumbuhnya terorisme di Indonesia. rasa persamaan sebangsa dan setanah air dapat dijadikan sarana untuk menangkal/ menolak terorisme (Rata-rata = 3,8100 . Std. Dev = 0,89009). Pada masyarakat Lampung tercermin pada prinsip "Tetengah Tetanggah". Prinsip ini harus terus dikembangkan dan direvitalisasi, agar dapat dimanfaatkan guna menangkal tumbuhnya paham terorisme di wilayah Lampung, Begitu pula pada prinsip orang Banten "Ngajaga dulur, ngajaga batur, jeung ngajaga lembur". Pada masyarakat Jawa terdapat watak "elingmarangkanca lara lapa" (ingat pada sesama seperjuangan), juga pada pepatah "manjing ajur-ajer". dan prinsip keteguhan hati pada Sir? (Sulsel). Persamaan sebangsa dan setanah air harus terus dipertahankan, terlebih pada kondisi saat ini mulai menguatnya kembali nilai-nilai priomordialisme.

Kelima, rasa kasih sayang sesama manusia dapat dijadikan sebagai sarana penting untuk menangkal/menolak terorisme (Rata-rata = 3,8888 . Std. Dev = 0,87335). Pada masyarakat Lampung terlihat pada kata-kata "Nemui Nyimah dan Bepudak Waya. Nemui Nyimah, Sakai Sambaian dan Khepot Delom Mufakat, Pada masyarakat Banten tercermin pada kata "Silih Asah, Silih Asih dan Silih Asuh" cukup memberikan gambaran masih masih eksis keberadaannya. Begitupula pada masyarakat Jawa istilah "berbudi hawa leksana, ambeg adil paramarta" (berbudi luhur serta mulia dan bersifat adil terhadap siapa saja, atau adil dan penuh kasih sayang). Namun demikian perlu terus dipupuk.

Keenam, peran Para Tokoh Masyarakat dapat dijadikan sebagai sarana guna menggalang pemaham-an dalam upaya penanggulangan terorisme (Rata-rata = 3,7045 . Std. Dev = 0,87470). Indonesia sangat kaya dengan berbagai ragam suku bangsa, dan pada berbagai ragam suku bangsa tersebut terdapat orang-orang yang dianggap sebagai pemimpin atau yang ditokohkan sebagai pemimpin informal, dengan segala kelembagaannya, di samping pemimpin formal pemerintahan mulai dari tingkat desa sampai dengan negara.

Ketujuh, nilai nilai sosial budaya disampaikan oleh para responden di seluruh wilayah penelitian secara umum dapat dijadikan sarana guna menciptakan pemahaman yang sama dalam menanggulangi kegiatan terorisme (Rata-rata = 3,8145 . Std. Dev = 0,88382). Nilai-nilai soial budaya masyarakat Indonesia, pada dasarnya sangat kaya dan plural. Tidak ada satu pun di dunia yang memiliki kekayaan budaya sekomplit Indonesia, mulai didasarkan para keragaman suku bangsa, bahasa, adat istiadat, kepercayaan, agama, dan berbagai golongan penduduk. Potensi sosial budaya ini sangat tinggi bila dimanfaatkan semaksimal mungkin guna menanggulangi terorisme, mengingat nilai-nilai sosial budaya kita, mengandung prinsip-prinsip kedamaian, ramah tamah, sopan santun, dan lain-lain menunjukan kuatnya ikatan sosial budaya Indonesia.

Kedelapan, perilaku gotong ro-yong yang berkembang dengan baik menurut para responden dapat dija¬dikan sarana untuk membangkitkan semangat menjaga keamanan ber-sama dalam kerangka penang¬gulangan terorisme (Rata-rata = 3,8483 . Std. Dev = 0,87064).

Sebagian besar responden mengakui bahwa perilaku gotong royong masih ada dan tumbuh dalam masyarakat Indonesia. Pada beberapa daerah pedesaan di Indonesia perilaku gotong royong ini masih tetap dipelihara. Di Lampung tercermin pada kata Sakai Sambaian/Khepot Delom Mufakat, di Banten tercermin dalam bahasa sunda "Silih asuh" atau "ngajaga batur", di wilayah DKI sekalipun nilai individualistis sudah mulai tinggi namun perilaku gotong royong masih ada dan dipelihara sebagian kelompok masyarakat.

Pada masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur, terutama di wilayah-wilayah pedesaannya masih cukup kuat dan besar perilaku gotong royongnya seperti tercermin dalam pepatah "sepi ing pamrih rame ing gawe", sementara di Sulawesi Selatan pada konsep Siri' juga tercermin nilai gotong royong untuk menegakan harga diri. Oleh karena itu perilaku gotong royong ini harus terus ditingkatkan.

Kesembilan, nilai nilai agama yang dijadikan perilaku dan pedoman oleh masyarakat, menurut sebagian besar responden dapat dijadikan sebagai pedoman dan pendekatan dalam membangun kebersamaan dalam menanggulangi terorisme (Rata-rata = 3,7837. Std. Dev = 0,88053). Hasil penelusuran dari berbagai kitab suci umat beragama dan hasil wawancara pada 60 responden tokoh agama, dapat dikatakan setiap kitab suci baik secara eksplisit maupun implisit memuat nilai-nilai hidup rukun sesama umat beragama, baik antar umat beragama maupun yang satu agama, seperti pada Agama Islam terdapat pada Surat Al Baqarah Ayat 256, Surat Al Kahfi Ay at 29.

Faktor - faktor budaya tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap penanggulangan terorisme di Indonesia. Hasil uji statistik seba-gaimana ditunjukan oleh nilai koefisien determinasi (R Square)nya sebesar 52,4%. Artinya apabila dilakukan upaya-upaya peningkatan terhadap partisipasi masyarakat, pelibatan tokoh masyarakat serta agama dan peningkatan pemahaman masyarakat akan agama yang mereka anut masing-masing, serta mengembangkan dan melembaga-kan nilai-nilai budaya adilihung maka aksi-aksi terorisme diprediksi akan mengalami penurunan sebesar 52,4%.

Namun demikian eksistensi nilai-nilai budaya tersebut pada saat ini tidak terpelihara dengan baik, sehingga keberadaannya tidak dipahami dan diketahui lagi oleh generasi berikutnya, bahkan mengalami pendangkalan makna. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, yakni :

Pertama, dalam berbagai kegiatan baik kemasyarakatan atau-pun kenegaraan nilai-nilai budaya ini jarang disentuh bahkan diabaikan. Begitu pula dalam hal berperilaku politik nilai-nilai ini jarang disentuh.

Kedua, lembaga-lembaga ke¬masyarakatan yang ada masih gamang dalam mengembangkan nilai-nilai budaya tersebut, meng-
ingat besarnya arus masuk kebuda-yaan luar yang lebih banyak meng-usung nilai-nilai individualistis.

Ketiga, belum terbentuknya lembaga-lembaga kebudayaan yang dapat dianggap sebagai garda dan pemelihara nilai-nilai budaya tersebut.


Keempat, miskinnya sosialisasi dan internalisasi pada masyarakat dan generasi berikutnya.

Kelima, masyarakat belum me-miliki lagi patronase tokoh baik pemimpin formal maupun informal yang dalam kehidupan sehari-hari-nya memperlihatkan sikap dan perilaku yang memegang prinsip-prinsip nilai budaya adiluhung tersebut.

Polri dalam kerangka tugasnya sebagai aparat penegak hukum, pemelihara keamanan dan ketertiban, serta pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat dalam upaya mencegah terjadinya terorisme di seluruh wilayah Indonesia, selain harus mampu mengantisipasi pre-diktor penyebab dan faktor yang mempermudah terjadinya terorisme, juga dapat menggunakan nilai-nilai budaya yang adiluhung dalam pe-nanggulangannya. sehingga dapat tercapainya rasa aman dan damai seluruh masyarakat Indonesia, dan masyarakat dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar