Sabtu, 23 Oktober 2010

Sebab timbulnya prasangka

Prasangka merupakan fenomena yang hanya bisa ditemui dalam kehidupan sosial. Jika seseorang tidak pernah bertemu orang lain seumur hidupnya, mustahil ia memiliki prasangka. Munculnya prasangka merupakan akibat dari adanya kontak-kontak sosial antara berbagai individu di dalam masyarakat. Seseorang tidak mungkin berprasangka bila tidak pernah mengalami kontak sosial dengan individu lain. Pendek kata, anda harus menjadi anggota masyarakat untuk bisa memiliki prasangka. Nah, anda pasti merupakan anggota masyarakat saat ini, jadi sangat mungkin anda memiliki prasangka.

Terdapat 2 faktor, yakni faktor sosial dan faktor individual yang menyebabkan munculnya prasangka. Beberapa situasi sosial yang bisa memunculkan prasangka setidaknya bisa dikategorikan ke dalam enam hal, yakni akibat konflik sosial antar individu dan antar kelompok, akibat perubahan sosial, akibat struktur sosial yang kaku, akibat keadaan sosial yang tidak adil, akibat terbatasnya sumber daya, dan adanya politisasi pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari adanya prasangka.

Selain situasi sosial di atas, ada peranan faktor individual dalam memunculkan prasangka. Beberapa hal pada diri seseorang yang bisa menyebabkan prasangka adalah cara berpikir, kepribadian, pengaruh belajar sosial, dan psikodinamika kepribadian. Masing-masing memberikan sumbangan bagi kemunculan prasangka pada diri seseorang.

Faktor individual penyebab prasangka

Mungkin anda sering menemui orang yang begitu mudah berprasangka. Mungkin anda juga sering menemui orang yang sangat rendah tingkat prasangkanya. Seolah ada kecenderungan individu tertentu lebih berprasangka daripada individu yang lain. Mengapa hal itu terjadi? Di sinilah faktor individual berperan dalam memicu prasangka.

pfyuAda beberapa hal dalam individu yang bisa membuat seorang individu bisa berprasangka yakni adanya proses kognitif tertentu, adanya pengaruh belajar sosial, adanya tipe kepribadian tertentu dan adanya psikodimanika kepribadian. Berikut penjelasannya masing-masing.

1. Faktor kognitif penyebab prasangka

Terdapat 2 cara berpikir mendasar dalam diri manusia yang bisa menyebabkan terjadinya prasangka, yakni kategorisasi dan atribusi. Masing-masing terbukti menjadi landasan bagi terbentuknya prasangka.

Kategorisasi. Pada saat anda bertemu seseorang di dalam sebuah kapal, apa yang anda lakukan pertama kali? Anda melakukan kategorisasi! Mungkin mula-mula anda akan menggolongkannya berdasarkan jenis kelamin. Ia laki-laki atau perempuan. Lalu mengkategorisasikannya berdasar umur, ia tua, setengah tua atau muda. Kemudian berdasarkan penampakan fisik, cantik, kurang cantik atau jelek. Lalu berdasarkan tinggi badan, ia pendek, tinggi atau sedang. Kemudian berdasarkan panjang rambut, berambut panjang, sebahu, atau pendek. Begitu seterusnya.

Anda tahu, dunia sangat kompleks. Hanya dengan kategorisasi kita bisa membuatnya menjadi sederhana dan bisa kita mengerti. Melalui kategorisasi kita membedakan diri kita dengan orang lain, keluarga kita dengan keluarga lain, kelompok kita dengan kelompok lain, etnik kita dengan etnik lain. Stereotip kelompok (ciri yang dianggap ada pada kelompok tertentu) muncul karena adanya proses berpikir kategorisasi. Ketika anda bertemu dengan orang yang berbeda dengan anda, mungkin anda mengkategorisasikannya sebagai orang asing, seram, tidak terlihat baik dan penampilannya tidak biasa. Akibat kategorisasi itu, muncullah prasangka dalam diri anda.

Kategorisasi bisa berdasarkan persamaan atau perbedaan. Misalnya persamaan tempat tinggal, garis keturunan, warna kulit, pekerjaan, kekayaan yang relatif sama dan sebagainya akan dikategorikan dalam kelompok yang sama. Sedangkan perbedaan dalam agama, gaya hidup, usia, jenis kelamin, tempat tinggal, pekerjaan, tingkat pendidikan dan lainnya maka dikategorikan dalam kelompok yang berbeda.

Mereka yang memiliki kesamaan dengan diri kita akan dinilai satu kelompok dengan kita atau ingroup. Sedangkan mereka yang berbeda dengan kita akan dikategorikan sebagai outgroup. Seseorang pada saat yang sama bisa dikategorikan dalam ingroup ataupun outgroup sekaligus. Misalnya Sandi adalah tetangga kita, jadi sama-sama sebagai anggota kelompok pertetanggaan lingkungan RT. Pada saat yang sama ia merupakan lawan kita karena ia bekerja pada perusahaan saingan kita. Jadi, Sandi termasuk satu kelompok dengan kita (ingroup) sekaligus bukan sekelompok dengan kita (outgroup)

Kategorisasi memiliki dua efek mendasar, yakni melebih-lebihkan perbedaan antar kelompok dan meningkatkan kesamaan kelompok sendiri. Perbedaan antar kelompok yang ada cenderung dibesar-besarkan. Perbedaan itupun sering di ungkapkan. Sementara itu, kesamaan yang ada cenderung untuk diabaikan. Misalnya, bukankah anda cenderung menganggap bahwa perbedaan antara 2 pemeluk agama sangatlah besar. Sebaliknya menganggap sesama pemeluk agama sangatlah mirip (padahal setiap agama juga memiliki sekte-sekte yang berbeda satu sama lainnya)

Pada sisi lain, kesamaan yang dimiliki oleh kelompok sendiri cenderung sangat dilebih-lebihkan. Kesamaan itu selalu didengungkan. Sementara itu, perbedaan yang ada cenderung diabaikan. Sebagai contoh perbedaan antara etnik Jawa dan etnik Batak akan cenderung di lebih-lebihkan, misalnya dalam bertutur kata dimana etnis Jawa lembut dan etnis Batak kasar. Lalu, orang-orang se-etnis cenderung untuk merasa sangat identik satu sama lain padahal sebenarnya diantara mereka relatif cukup berbeda. Bukankah antara orang Jawa Banyumasan (ngapak) dengan Surakartan (bukan ngapak), sangat berbeda dalam bahasa dan adat? Tapi toh mereka merasa satu sebagai orang Jawa.

Ukuran kelompok adalah faktor penting dalam menilai apakah diantara anggota-anggotanya relatif sama ataukah plural. Kelompok minoritas menilai dirinya lebih similar dalam kelompok, sementara kelompok mayoritas menilai dirinya kurang similar. Anggota kelompok minoritas juga mengidentifikasikan diri lebih kuat ke dalam kelompok ketimbang anggota kelompok yang lebih besar. Kelompok minoritas menilai dirinya lebih berada dalam ancaman dibanding kelompok yang lebih besar. Keadaan ini menyebabkan kelompok minoritas tidak mudah percaya, sangat berhati-hati dan lebih mudah berprasangka terhadap kelompok mayoritas. Kecemasan berlebih itu tidak kondusif dalam harmonisasi hubungan sosial. Karena hubungan yang cenderung meningkatkan kecemasan akan mengurangi sikap yang baik terhadap kelompok lain, halmana sangat potensial menyebabkan prasangka.

Pengkategorian cenderung mengkontraskan antara dua pihak yang berbeda. Jika yang satu dinilai baik maka kelompok lain cenderung dinilai buruk. Kelompok sendiri biasanya akan dinilai baik, superior, dan layak dibanggakan untuk meningkatkan harga diri. Sementara itu disaat yang sama, kelompok lain cenderung dianggap buruk, dan inferior. Keadaan seperti itu, baik terbuka ataupun tidak, melahirkan prasangka.

Atribusi. Proses kognitif lain yang berperan dalam membentuk prasangka adalah atribusi, yakni upaya menerangkan sebab dari tingkah laku seseorang. Biasanya, pada saat seseorang mengalami kesenangan dan keberhasilan, maka mereka menilai bahwa penyebab utama adalah diri sendiri. Orang lain yang mendukung adalah faktor tambahan belaka. Sebaliknya, pada saat seseorang mengalami situasi yang buruk atau tidak menyenangkan, maka sumber penyebabnya dicari dari pihak lain. Nah, pada situasi yang buruk inilah, seseorang akan berupaya mencari pihak yang bisa disalahkan.

Upaya mencari seseorang untuk disalahkan atas situasi yang buruk membuat seseorang lebih berprasangka pada yang lain. Misalnya para pengungsi yang mengalami situasi pengungsian yang buruk akan lebih berprasangka. Mereka merasa bahwa nasib mereka ditelantarkan oleh pihak-pihak tertentu. Akibatnya pihak-pihak yang dianggap sebagai sumber kesulitan akan diprasangkai.

2. Pengaruh belajar sosial

Prasangka dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui proses sosialisasi. Apabila suatu keluarga memiliki prasangka yang tinggi terhadap kelompok lain, maka itulah yang cenderung ditanamkan pada anak-anak dalam keluarga itu melalui idiom-idiom bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Keadaan ini membuat kecenderungan kuat bahwa orangtua yang berprasangka akan melahirkan anak-anak berprasangka.

Anak-anak belajar melalui identifikasi atau imitasi, atau melalui pembiasaan. Apa yang dilakukan orangtua, anggota keluarga lain dan semua yang dilihat anak-anak akan ditiru. Misalnya bila orang tua sering mengata-ngatai tetangganya yang beretnis Batak dengan kata-kata “dasar Batak”, maka sang anak juga akan meniru dan mengembangkan perasaan tidak suka terhadap etnik Batak secara keseluruhan.

Terdapat bukti bahwa anak pada usia 3 tahun sudah sadar akan kategorisasi sosial utama yakni gender dan etnik. Anak-anak sudah mengenal kategori-kategori dan bersikap serta bertindak berdasarkan kategori-kategori itu. Pengkategorian itu mendasarkan pada berbagai informasi yang telah diterima anak-anak dari keluarganya. Informasi yang penuh dengan stereotip negatif dan berprasangka akan membuat anak-anak bertindak sesuai dengan stereotip dan prasangka yang dimiliki terhadap kelompok lain.

Media massa merupakan salah satu alat dalam belajar sosial yang penting. Banyak pengetahuan mengenai kelompok lain diperoleh melalui berita-berita di media massa. Akibatnya opini yang terbentuk mengenai kelompok lain tergantung pada isi pemberitaan media massa. Misalnya bila kelompok tertentu dalam berita diposisikan sebagai ekstremis, suka kekerasan, dan teroris maka prasangka terhadap kelompok itu di masyarakat akan menguat.

3. Tipe kepribadian

Setidaknya ada 3 tipe kepribadian yang cenderung lebih berprasangka ketimbang yang lain. Pertama, tipe kepribadian otoritarian, yakni pribadi yang sangat menekankan pada kekuasaan otoriter. Kedua, kepribadian dogmatik, yakni pribadi yang sangat kukuh membela suatu keyakinan tertentu. Ketiga, pribadi yang keras hati.

Kepribadian otoritarian. Pada tataran individu, faktor kepribadian otoritarian merupakan faktor pemicu prasangka yang terpenting. Seseorang yang memiliki kepribadian otoritarian dipastikan mudah berprasangka. Adapun ciri-ciri dari kepribadian otoritarian adalah;

1. Mempersepsi dunia secara bipolar, yakni selalu mengkontraskan segala sesuatu dalam dua kutub yang berlawanan; jika tidak hitam pasti putih, jika tidak benar pasti salah, jika tidak baik pasti buruk, jika tidak indah pasti jelek dan semacamnya.
2. Tidak mampu toleran terhadap perbedaan, yakni tidak bisa menerima adanya orang-orang yang berbeda dari dirinya. Perbedaan yang ditemui akan menimbulkan kecemasan. Karenanya orang bertipe ini menuntut kesamaan sebesar-besarnya dari orang lain. Orang dengan ciri ini cenderung untuk selalu bersikap negatif terhadap orang-orang yang berbeda dengan dirinya.
3. Permusuhan berlebihan terhadap seseorang yang belum nyata anggota sebuah kelompok. Seseorang yang memiliki ciri ini memiliki kecurigaan tinggi terhadap orang-orang asing dan orang-orang yang belum jelas dikategorikan masuk kelompok mana.
4. Hormat berlebihan dan memiliki kebutuhan kuat untuk mengidentifikasikan diri pada figur otoritarian. Orang dengan ciri ini akan sangat patuh dan merasa cemas jika pimpinan mengabaikannya. Para penjilat masuk dalam kategori ini. Mereka berupaya agar pimpinan selalu menyadari kehadirannya, dan berharap agar pimpinan lebih memperhatikannya ketimbang kepada orang lain.
5. Tidak dapat mempercayai orang lain. Mereka biasanya menaruh curiga terhadap pihak lain.
6. Mereka merasa lemah yang oleh karenanya mereka sangat yakin bahwa sangat penting bagi mereka memiliki pemimpin yang sangat berkuasa atau menjadi bagian dari kelompok yang berkuasa. Mereka hanya nyaman jika menjadi bagian dari kelompok yang terbaik, misalnya perusahaan terbaik, tim sepakbola terbaik, dan seterusnya.
7. Etnosentrik. Mereka mengira bahwa kelompok mereka sendirilah yang paling baik.

Kepribadian dogmatik. Tipe kepribadian dogmatik juga merupakan salah satu tipe kepribadian yang memiliki kecenderungan kuat untuk berprasangka. Orang-orang dengan kepribadian dogmatik memiliki pola pemikiran yang sempit (closed-mind). Mereka sangat mempercayai sistem yang anti terhadap perubahan informasi dan ditandai penggunaan daya tarik atau kekuatan wewenang untuk menjustifikasi apa yang mereka kira benar. Jadi, jika berkuasa, maka ia akan berusaha dengan seluruh kekuasaannya untuk menolak ide-ide baru.

Dogmatisme memproposisikan bahwa orang yang dogmatik lebih banyak melakukan penolakan terhadap orang lain yang tidak sepaham dengan dirinya daripada ia menolak orang lain karena identitas kelompok (ras, etnik) mereka. Jika seseorang yang membawa ide baru adalah orang berbeda agama dan ideologi, lebih besar peluang ditolak daripada mereka yang berbeda etnik.

Secara umum orang dengan kepribadian dogmatik ini sangat konvensional. Mereka menentang setiap upaya perubahan yang terjadi jika mengakibatkan perubahan mendasar terhadap apa yang telah lama diyakininya. Mereka tidak segan menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk membenarkan apa yang diyakininya. Pada titik ekstrim, orang dengan kepribadian dogmatik ini menganggap hanya yang diyakinilah yang benar.

Pribadi yang keras hati. Jenis kepribadian lain yang mudah menderita prasangka adalah orang yang memiliki kepribadian yang keras hati atau cenderung kaku. Mereka yang keras hati ini lebih mampu memahami adanya ekstremitas, misalnya membenarkan terorisme. Mereka kurang terpengaruh keluarga dan lingkungan sosial dalam menentukan pilihan politik. Karakteristik orang berprasangka secara umum bermental kaku (rigidity), dan memiliki infleksibilitas pikiran.

4. Psikodinamika kepribadian

Menurut teori psikodinamika dalam ilmu psikologi, prasangka dianggap sebagai hasil perkembangan dari ketegangan motivasional dari dalam diri individu. Prasangka muncul karena menguntungkan secara psikologis, yakni meningkatkan perasaan superioritas. Anda mungkin pernah merasakan kepuasan bila mengetahui ada orang lain mengalami kegagalan. Hal ini merupakan cermin dari adanya tuntutan untuk merasakan superioritas atas orang lain. Prasangka berfungsi membantu memenuhi kebutuhan itu.

Kita tahu bahwa prasangka tumbuh lebih subur pada masyarakat yang kondisi sosial ekonominya rendah, berada di bawah ancaman, dan pada kelompok minoritas. Mengapa? Menurut teori psikodinamika, mereka memiliki kebutuhan untuk menjadi superior yang lebih tinggi sebagai kompensasi atas keadaan mereka yang inferior. Lalu prasangka memberikan mereka rasa superior.

Teori psikodinamika mencakup teori frustrasi-agresi yang menyebutkan prasangka sebagai hasil dari agresi yang dialihkan (displacement). Displacement adalah kecenderungan untuk mengarahkan kekejaman secara langsung kepada target yang tidak dapat secara nyata ditunjukkan sebagai sumber kesulitan. Artinya seseorang tidak dapat membuktikan bahwa seseorang atau sekelompok orang merupakan sumber dari kesulitan yang dideritanya. Akan tetapi ia merasa bahwa merekalah sumber kesulitan yang dideritanya. Sebagai kompensasi karena ia tidak bisa melakukan tindakan apa-apa terhadap sumber kesulitan maka ia memunculkan prasangka.

Pada diri seseorang terdapat kecenderungan untuk memproyeksikan karakteristik internal kepada orang atau objek lain. Misalnya sifat-sifat kasar yang dimiliki diproyeksikan kepada anggota kelompok lain. Dianggapnya kelompok lainlah yang memiliki sifat kasar, padahal sesungguhnya merupakan sifat-sifat kasar kelompok sendiri. Proyeksi umumnya hanya ada pada kelompok mayoritas. Kekejaman terhadap ingroup (kelompok sendiri) biasanya di projeksikan terhadap outgroup (kelompok lain). Misalnya etnis Jawa membenci dan kejam terhadap etnis Cina, dalam perspektif teori dinamika hal ini karena etnis Jawa memproyeksikan sifat-sifat buasnya kepada etnis Cina. Lalu, etnis Cina mungkin jadi tidak menyukai etnis Jawa karena etnis Jawa memproyeksikan impuls buasnya pada mereka

Penggunaan proyeksi terhadap target kelompok minoritas dan juga displacement sering ditunjukkan dalam bentuk-bentuk ekstrim oleh orang-orang yang menderita sakit mental, sadis dan paranoid. Mereka menggunakan prasangka untuk merasionalisasi dan menerangkan perilaku menyimpang mereka. Misalnya prasangka yang dimiliki dijadikan alasan untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok yang diprasangkai.

Faktor sosial penyebab prasangka

Prasangka merupakan hasil dari adanya interaksi sosial, maka cukup mudah menemukan sebab-sebab prasangka dalam kehidupan sosial. Faktor sosial yang menciptakan prasangka antar kelompok setidaknya bisa dikategorikan ke dalam enam hal, yakni: akibat konflik sosial antar individu dan antar kelompok, akibat perubahan sosial, akibat struktur sosial yang kaku, akibat keadaan sosial yang tidak adil, akibat terbatasnya sumber daya, dan adanya politisasi pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari adanya prasangka.

Bagaimana faktor sosial di atas bisa menyebabkan munculnya prasangka dan mengapa prasangka muncul dalam interaksi sosial? Ada beberapa teori dalam ilmu psikologi yang bisa menjelaskan hal tersebut, yakni karena adanya perbandingan sosial, adanya identitas sosial, adanya deprivasi relatif, adanya konflik-realistis dan adanya frustrasi. Berikut penjelasannya masing-masing :

1. Identitas sosial

“Anda apa?” Jika anda menjawab pengacara (karena anda pengacara), maka itulah identitas sosial anda. Jika anda menjawab muslim (karena anda muslim), maka itulah identitas sosial anda. Identitas sosial adalah identitas yang anda pakai dengan penuh penghayatan karena anda anggota kelompok sosial tertentu. Artinya, seseorang memiliki kelekatan emosional terhadap kelompok sosialnya.

Orang memakai identitas sosialnya sebagai sumber dari kebanggaan diri dan harga diri. Semakin positif kelompok dinilai, maka semakin kuat identitas kelompok yang dimiliki dan akan memperkuat harga diri. Sebaliknya jika kelompok yang dimiliki dinilai memiliki prestise yang rendah maka hal itu juga akan menimbulkan identifikasi yang rendah terhadap kelompok. Apabila terjadi sesuatu yang mengancam harga diri maka kelekatan terhadap kelompok akan meningkat dan perasaan tidak suka terhadap kelompok lain juga meningkat. Demikanlah, akhirnya prasangka diperkuat.

Sebagai upaya meningkatkan harga diri, seseorang akan selalu berusaha untuk memperoleh identitas sosial yang positif. Upaya meningkatkan identitas sosial yang positif itu diantaranya dengan membesar-besarkan kualitas kelompok sendiri sementara kelompok lain dianggap kelompok yang inferior. Secara alamiah memang selalu terjadi ingroup bias yakni kecenderungan untuk menganggap kelompok lain lebih memiliki sifat-sifat negatif atau kurang baik dibandingkan kelompok sendiri.

peplooTidak setiap orang memiliki derajat identifikasi yang sama terhadap kelompok. Ada yang kuat identifikasinya dan ada pula yang kurang kuat. Orang dengan identifikasi sosial yang kuat terhadap kelompok cenderung untuk lebih berprasangka daripada orang yang identifikasinya terhadap kelompok rendah. Secara umum derajat identifikasi seseorang terhadap kelompok dibedakan menjadi dua yakni high identifiers dan low identifiers. High identifiers mengidentifikasikan diri sangat kuat, bangga, dan rela berkorban demi kelompok. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan melindungi dan membela kelompok kala mendapatkan imej yang buruk. Dalam situasi yang mengancam kelompok, orang dengan high identifiers akan menyusun strategi kolektif untuk menghadapi ancaman tersebut.

Sebaliknya low identifiers kurang kuat mengidentifikasikan ke dalam kelompok. Orang dengan identifikasi rendah terhadap kelompok ini akan membiarkan kelompok terpecah-pecah dan melepaskan diri mereka dari kelompok ketika berada di bawah ancaman. Mereka juga merasa bahwa anggota-anggota kelompok kurang homogen.

2. Perbandingan sosial

Pernahkah anda tidak membandingkan diri anda dengan orang lain? Meskipun tidak sering, anda pasti pernah melakukannya. Merupakan hal alamiah, kita selalu membandingkan diri kita dengan orang lain dan kelompok kita dengan kelompok lain. Hal-hal yang dibandingkan hampir semua yang kita miliki, mulai dari status sosial, status ekonomi, kecantikan, karakter kepribadian dan sebagainya. Konsekuensi dari pembandingan adalah adanya penilaian sesuatu lebih baik atau lebih buruk dari yang lain. Apakah anda merasa lebih baik dibandingkan orang lain? Dalam hal apa anda merasa lebih baik?

Melalui perbandingan sosial kita menyadari posisi diri kita di mata orang lain dan masyarakat. Kita menjadi sadar kelas sosial kita, sadar prestise dan reputasi kita, serta sadar sikap oang lain terhadap kita. Kesadaran akan posisi ini tidak akan melahirkan prasangka bila kita menilai orang lain relatif memiliki posisi yang sama. Prasangka terlahir ketika orang menilai adanya perbedaan yang mencolok. Artinya keadaan status yang tidak seimbanglah yang akan melahirkan prasangka. Pada masyarakat yang perbedaan kekayaan anggotanya begitu tajam prasangka cenderung sangat kuat. Sebaliknya bila status sosial ekonomi relatif setara prasangka yang ada kurang kuat.

Para sosiolog menyebutkan bahwa prasangka dan diskriminasi adalah hasil dari stratifikasi sosial yang didasarkan distribusi kekuasaan, status, dan kekayaan yang tidak seimbang diantara kelompok-kelompok yang bertentangan. Pada masyarakat yang terstruktur dalam stratifikasi yang ketat, kelompok dominan dapat menggunakan kekuasaan mereka untuk memaksakan ideologi yang menjustifikasi praktek diskriminasi untuk mempertahankan posisi menguntungkan mereka dalam kelompok sosial. Hal ini membuat kelompok dominan berprasangka terhadap pihak-pihak yang dinilai bisa menggoyahkan hegemoni mereka. Sementara itu kelompok yang didominasi berprasangka terhadap kelompok dominan karena kecemasan akan dieksploitasi.

3. Deprivasi relatif

Deprivasi relatif adalah keadaan psikologis dimana seseorang merasakan ketidakpuasan atas kesenjangan/kekurangan subjektif yang dirasakannya pada saat keadaan diri dan kelompoknya dibandingkan dengan orang atau kelompok lain. Keadaan deprivasi bisa menimbulkan persepsi adanya suatu ketidakadilan. Sedangkan perasaan mengalami ketidakadilan yang muncul karena deprivasi akan mendorong adanya prasangka. Misalnya di suatu wilayah, sekelompok etnis A bermata pencaharian sebagai petani padi sawah. Masing-masing keluarga etnik tersebut mengerjakan sawah seluas 2 ha. Rata-rata hasil panenan yang didapatkan setiap kali panen (1 kali setahun) adalah 8 ton padi. Mereka sangat puas dengan hasil tersebut dan merasa beruntung. Kemudian datanglah sekelompok etnis B yang juga mengerjakan sawah di wilayah itu dengan luas 2 ha per keluarga. Ternyata, hasil panenan kelompok etnis B jauh lebih banyak (14 ton sekali panen). Sejak itu muncullah ketidakpuasan etnis A terhadap hasil panenannya karena mengetahui bahwa etnis B bisa panen lebih banyak. Ketidakpuasan yang dialami etnis A itu merupakan deprivasi relatif.

Pada awal kedatangan etnis B, mereka disambut baik oleh etnis A. Akan tetapi setelah etnis B berhasil memanen padi di sawah barunya, mulailah timbul ketidaksukaan etnis A terhadap etnis B. Etnis A menuduh etnis B berkolusi dengan petugas pengairan sehingga mendapatkan pengairan yang lebih baik karenanya hasil panenannya lebih baik. Etnis A mulai merasakan adanya perlakuan yang tidak adil dari petugas pengairan terhadap mereka, meski sebenarnya tidak ada pembedaan perlakuan dari petugas tersebut. Tidak hanya itu, dalam berbagai hal etnis A pun jadi berprasangka terhadap etnis B, dan mulai tidak menerima kehadiran etnis B.

Ilustrasi di atas menggambarkan timbulnya prasangka akibat dari deprivasi relatif. Hal demikian seringkali terjadi terutama di daerah-daerah dimana terdapat penduduk asli dan penduduk pendatang dalam jumlah besar. Contoh paling bagus adalah daerah transmigrasi dimana penduduk asli tinggal tidak jauh dari daerah itu. Sepanjang kondisi ekonomi penduduk asli masih lebih baik daripada transmigran, penerimaan penduduk asli terhadap transmigran akan berjalan baik. Akan tetapi begitu kondisi ekonomi pendatang menjadi lebih baik daripada penduduk asli maka mulai timbullah deprivasi relatif dari penduduk asli, halmana mulai menimbulkan prasangka dan berbagai gejolak lainnya.

4. Konflik-Realistis

Menurut teori konflik-realistik (Realistic Conflict Theory), prasangka timbul karena kompetisi yang terjadi antara berbagai kelompok sosial yang berbeda untuk meraih kesempatan atau sumber daya yang terbatas. Prasangka bisa muncul dan berkembang sebagai efek samping perjuangan berbagai kelompok memperebutkan pekerjaan, perumahan yang memadai, sekolah yang baik, lahan pertanian, dan lainnya. Apabila kesempatan dan sumber daya melimpah, umumnya prasangka antar kelompok rendah karena orang-orang tidak perlu bersaing keras mendapatkannya. Sedangkan apabila kesempatan dan sumber daya yang tersedia sangat terbatas jumlahnya, biasanya prasangka di daerah tersebut cukup tinggi.

Terjadinya prasangka di daerah-daerah pertambangan rakyat, seperti pertambangan emas di Kalimantan, di Rejang Lebong, dan di beberapa tempat lain umumnya didorong oleh adanya konflik kepentingan untuk berebut sumberdaya tambang yang ada. Demikian juga prasangka antara warga asli dengan warga pendatang di daerah-daerah yang dijadikan pemukiman transmigrasi umumnya karena adanya perebutan sumberdaya ekonomi yang terbatas.

Persaingan memperebutkan sumberdaya yang terbatas seringkali berujung pada timbulnya konflik. Konflik-konflik itu seringkali dipicu oleh prasangka. Sebaliknya, konflik antar kelompok yang membesar akan menyebarkan prasangka dan diskriminasi. Jadi, prasangka merupakan pemicu konflik sekaligus sebagai hasil dari konflik. Prasangka memicu konflik karena prasangka menciptakan kondisi hubungan sosial yang penuh ketegangan. Prasangka sebagai hasil konflik karena konsekuensi munculnya sikap permusuhan terhadap kelompok lain.

Pada saat kerusuhan dan kekerasan antarkelompok terjadi, prasangka antara kelompok bertikai menguat. Semakin besar skala kerusuhan yang terjadi, prasangka yang timbul cenderung semakin besar. Sebagai contoh, kekerasan antara etnis Dayak dan etnis Madura di Kalimantan, seperti tragedi Sampit dan tragedi Sambas, telah menyebarkan prasangka diantara etnis Dayak terhadap etnis Madura dan sebaliknya diantara etnis Madura terhadap etnis Dayak. Padahal mungkin saja sebelum kerusuhan banyak diantara mereka memiliki hubungan yang sangat baik.

5. Frustrasi

Prasangka bisa muncul sebagai hasil dari adanya frustrasi (frustration-agression hypothesis), dimana pencapaian tujuan mungkin dihalangi pihak lain. Seseorang yang dalam mencapai tujuan dihalangi pihak lain ini akan cenderung berprasangka terhadap pihak-pihak yang dianggap menghalangi itu. Dalam hal ini prasangka mungkin merupakan mekanisme mempertinggi harga diri atau untuk mengalahkan dan mengalihkan ancaman terhadap harga diri. Jadi, ketika seseorang merasa tidak akan mencapai sesuatu, ia tidak ingin tampak sebagai orang gagal karena kegagalan membuat harga dirinya terancam. Maka ia akan berprasangka pada orang-orang atau kelompok lain agar harga dirinya tidak terancam.

Frustrasi seringkali menimbulkan agresi meski tidak selalu berbentuk agresi terbuka. Namun kadangkala karena sumber frustrasi tidak mungkin menjadi sasaran agresi maka agresinya dialihkan kepada pihak lain. Pengalihan agresi ini biasa dikenal sebagai pengkambinghitaman yang merupakan bentuk dari prasangka. Biasanya sasaran pengkambinghitaman adalah kelompok-kelompok yang subordinat dan lemah, atau kelompok minoritas. Sebagai contoh pada tahun 1997/1998 di saat negara kita mengalami krisis ekonomi, etnis Cina dituding sebagai biang keladinya. Pada saat itu prasangka terhadap etnis Cina meningkat dan sebaliknya etnis Cina juga menjadi lebih berprasangka terhadap etnis lainnya.

socialStruktur sosial yang kaku merupakan salah satu penyebab frustrasi karena mobilitas sosial vertikal yang terhambat. Misalnya anda seorang sarjana yang bekerja mula-mula sebagai resepsionis di hotel. Jika selamanya tidak akan ada peningkatan karir dan penghasilan, bukankah anda bisa frustrasi?! Pada banyak negara yang menerapkan sistem pemerintahan otoriter dan tertutup dimana mobilitas sosial masyarakatnya sangat terbatas, aspirasi untuk maju dan berkembang warganya sulit diwujudkan, biasanya prasangka yang ada diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat cukup tinggi. Antar kelompok saling prasangka memprasangkai. Berdasarkan teori frustrasi-agresi, prasangka yang muncul merupakan akibat dari timbulnya frustrasi atas keadaan sosial yang tidak memfasilitasi keinginan individu ataupun kelompok untuk maju dan berkembang.

Apakah faktor genetika menjadi penyebab prasangka?

Menurut sebagian ahli, prasangka memiliki dasar biologis. Kecenderungan tidak menyukai kelompok lain dan hal-hal lain yang bukan milik sendiri, dianggap sebagai warisan genetik. Pendekatan ini diistilahkan sebagai genetic similarity theory. Asumsinya, gen akan memastikan kelestariannya dengan mendorong reproduksi gen yang paling baik, yakni yang memiliki kesamaan. Buktinya kita dan nenek moyang kita memiliki kesamaan gen, sehingga bisa dilacak. Maka, menurut teori ini, orang-orang yang mirip satu sama lain atau yang menunjukkan pola sifat yang mirip sangat mungkin memiliki gen-gen yang lebih serupa dibandingkan dengan yang tidak mirip. Misalnya orang-orang yang berasal dari etnik yang sama memiliki gen yang relatif lebih mirip daripada dengan orang dari etnik yang berbeda.

Menurut teori kesamaan gen, faktor kesamaan gen dalam satu etnik dimungkinkan sebagai faktor yang menyebabkan individu berperilaku lebih murah hati terhadap anggota etniknya daripada kepada etnis yang berbeda. Ketakutan dan kekurangpercayaan terhadap orang asing juga telah terpetakan dalam gen, sebab meskipun orang asing tidak membahayakan sama sekali, kecenderungan curiga dan tidak percaya tetap ada. Hal ini memberikan kontribusi nyata terhadap munculnya prasangka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar